Februari 20, 2009

Pendakian dan Kekuataan Empati

Mendaki gunung ialah suatu kegiatan favorit yang aku lakukan untuk sejenak melepas kepenatan pikiran dan kehidupan yang berjalan serba konstan. Seorang bijak pernah berujar, “ banyak-banyaklah berjalan, niscaya engkau akan lebih bijak dalam berpikir dan bertindak”. Dengan kata lain , makin sering seseorang melakukan perjalanan maka makin banyak pengetahuan hidup yang ia dapat. Makin banyak yang ia tahu, makin banyak pulalah nilai-nilai kehidupan yang ia serap. Hingga hasil akhirnya menuju titik bijak seorang manusia. Setiap informasi yang ia miliki, pengetahuan-pengetahuan yang ia dapati dan nilai-nilai yang ia yakini, semua tertampung dalam sanubari, untuk selanjutnya menjadi penuntun setiap langkahnya dalam menelusuri perjalanan-perjalanan yang lain. Tak hanya di gunung, tak hanya di gua-gua, tak hanya di tebing atau sungai, tapi di samudera kehidupan. Dalam kehidupannya sebagai makhluk social.

Banyak yang hingga detik ini masih mempertanyakan motivasiku dalam melakukan kegiatan ini. Sebenarnya pertanyaan seperti ini cukup klise untuk diajukan kepada seorang yang sedang mencoba mengabdikan dirinya untuk bersahabat dengan sang alam, seperti apa sedang kualami ini. Soe Hok Gie dalam sebuah catatannya pernah menuliskan kami adalah manusia yang tidak percaya pada slogan dan hipokrisi. Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari slogan dan hipokrisi. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat, kalau ia mengenal akan objeknya. Dan mencintai Tanah Air dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Karena itulah kami naik gunung. Setiap kali hendak berkegiatan dialam, jiwaku sering merasa tertantang, aku akan melakukan kegiatan yang suatu ketika yang tak terduga dapat mengantarkan pada sang ajal , aku akan pergi jauh meninggalkan rumah, hendak meninggalkan zona kenyamanan yang telah menjadi keseharian selama menjalani kehidupan perkotaan.

Jika mau sedikit menyimak lebih dalam sebenarnya banyak hal yang dapat dijadikan sebuah pelajaran. Naik kereta kelas ekonomi berdesak-desakan, tidak jarang harus berdiri bahkan tidur dilantai yang terdapat berbagai kotoran, lalu pindah dari satu bus ke bus yang lain, serta duduk bersama diatas pick-up bersama ibu-ibu yang kembali dari berbelanja sayuran di pasar tradisional. Sesampai di desa, aku berjumpa dengan masyarakatnya yang begitu ramah menyambut, para petani, pengangkut kayu, atau para penambang yang selalu memberikan senyum polos yang ikhlasnya.

Ingin kutekankan bahwa ada hal yang mungkin lebih berharga daripada pendakian itu sendiri. Ini tentang sisi-sisi kehidupan masyarakat yang kerap dijumpai didesa pada saat melakukan pendakian, yang mungkin sangat menarik untuk dipelajari masyarakat di perkotaan. Sebuah pola hidup penuh kesederhanaan yang memang kini hanya melayang menghampiri awan di atas gedung-gedung tinggi yang menusuk langit.Dari pengalaman seperti inilah refleksi mengenai keberpihakan kepada mereka yang termarjinalkan akan kuawali. Mereka yang digolongkan kedalam kelompok ini ialah mereka yang selama ini tidak pernah terjamah dan diperhatikan, menjadi minoritas atau menjadi korban dari penindasan suatu sistem, yang bahkan harus mati-matian berjuang untuk mendapat butir demi butiran nasi.

Semangat keberpihakan dan solidaritas ini dibentuk melalui persentuhan dengan mereka yang “sakit”. Perjumpaan dengan mereka yang ditindas, interaksi dengan mereka yang tidak bersuara (voice of voiceless), interaksi yang kerap kualami ketika pergi meninggalkan tempat tinggal untuk berjumpa dengan gunung, sungai, bukit, hutan, dan desa-desa. Perjumpaan dengan mereka memungkinkan diri ini untuk berempati, merasakan apa yang mereka rasakan, sehingga dengan demikian akan tergugah untuk bertindak. Mencoba membangun prefential for the poor berarti pula membangun semangat “mencemplungkan” diri kedalam dunia. Turun dari dunia kita dan mulai masuk kedalam dunia mereka. Merendahkan diri agar bisa berjumpa dengan mereka dan lalu mengangkat mereka agar setara dengan kita.

Aku begitu bersyukur ketika dalam waktu dekat ini organisasi yang aku banggakan dikampusku menggagas sebuah kegiatan aksi social dalam memperingati HUT Bakrie, dimana institusi kami bernaung. Sahabatku Alfian bahkan dengan sengaja membekali logisticnya dengan beberapa bungkus kretek 76 dalam pendakian Merbabu belum lama ini, demi memperingati dan mengungkapkan kebanggannya atas HUT yang sekarang telah memasuki usia 67 ini. Aku terkesima melihat semangat rekan-rekan yang bertugas mengkoordinir semua rangkaian acara yang berpusat dikampus BSM. Sudah lama memang aku merindukan dan mengimpikan suatu aksi nyata dalam lingkup pengabdian diri kedalam masyarakat seperti ini. Dalam kediamanku, aku hanya mampu berharap dan mendoakan semoga semua ini tidak hanya sebuah rangkaian seremonial belaka, yang dilakukan hanya sebagai suatu tuntutan tetapi lebih kepada tanggung jawab sebagai mahasiswa dan manusia secara keseluruhan sebagai makluk social. Disini aku tidak akan menggurui siapapun, karena terkadang diri inipun masih begitu arogan untuk sekedar memberikan recehan pada seorang anak kecil yang kurus dan kumuh yang kerap dijumpai di perempatan. Kapasitasku hanyalah sebatas mengajak, bahwa diluar sana masih berserakan saudara-saudara kita yang hanya makan nasi aking sekali dalam sehari, yang tidur kedinginan berdinding kardus bekas dan beratapkan langit, yang berjuang dengan airmata dan darah demi melawan kusta yang sudah menahun hinggap dan tidak sanggup diobati karena tidak mempunyai biaya untuk itu. Sesekali mari kita merenung dan melakukan aksi nyata bagi mereka, meninggalkan kehidupan apatis dan individualis yang begitu ganas menyerang untuk sejenak berempati.

Tidak ada komentar: