Februari 20, 2009

Mencumbu Badai Merbabu

aku sadari suatu saat nanti aku tidak akan seberuntung kisah-kisahku yang lalu..”

Merbabu adalah destinasi perjalanan kami ini. Dimulai dari stasiun Manggarai, dengan menumpang kereta Bengawan jurusan Solo Jebres yang dijadwal tertulis akan berangkat pukul 19.45. Awal perjalanan kami sudah melakukan “kenakalan”, kami menumpang kereta dengan tidak membeli tiket terlebih dahulu. Mendekati delapan malam kereta datang, dengan kondisi tidak begitu penuh dan masih banyak tempat duduk yang tersisa. Kami mengambil posisi masing-masing dengan menaruh carrier-carrier diatas rak. Namun kenyamanan itu harus berakhir ketika kereta memasuki stasiun Bekasi, para penumpang yang memiliki tiket resmi satu persatu mulai menggusur ke tempat kami duduk. Selepas stasiun Bekasi, kondektur menyisir tiket penumpang, ”karcisnya mas?”.”Solo, empat pak” jawab kami sambil menggulungkan uang 30.000 rupiah untuk empat orang. Dan selama beberapa menit kemudian merupakan pembicaraan yang alot antara kami dengan kondektur tentang uang yang harus kami bayarkan kepada dia. Namun setelah tampang “kere” kami berhasil meluluhkan hati sang kondektur, bapak setengah baya itupun pergi meninggalkan kami. Kereta api Bengawan adalah kereta api ekonomi dengan tujuan Tanah Abang - Solo Jebres. Tujuan kami adalah stasiun Lempuyangan, Yogyakarta. Dalam kondisi normal, seorang penumpang harus membayar satu tiket dengan harga 38.000 rupiah. Selama ini kami selalu mengandalkan kebaikan hati kondektur untuk memberikan “potongan harga” karcis kepada kami. Jadi memutuskan untuk membayar karcis diatas kereta api dengan memberikan uang langsung kepada kondektur atau nego terlebih dulu ke gerbong makan. Bisa dibilang, inilah angkutan antar kota termurah di Indonesia. Kami sampai stasiun Lempuyangan Yogyakarta pukul 7 pagi dan disambut titik gerimis dari langit.

Pada kesempatan pendakian yang dilakukan medio 12-16 februari kemarin, tim kami yang berjumlah 4 orang mahasiswa Bakrie School of Management memilih untuk memulai pendakian dari jalur utama Tekelan. Konon, nama Tekelan berasal dari nama seorang kakek, Mbah Tekel yang merupakan sesepuh di desa tersebut. Temperatur udara di desa Tekelan sekitar 19 derajat celcius. Penduduk desa umumnya bermata pencaharian sebagai petani bawang, tomat, cabai, wortel, dan juga tembakau. Untuk mencapai desa tekelan, dari Stasiun Lempuyangan Jogja kami menumpang bis yang menuju terminal Giwangan, untuk selanjutnya melanjutkan perjalanan menuju Magelang. Setelah mewati perjalanan selama 2 jam, dilanjutkan dengan menumpang bis menuju kopeng. Dari kopeng untuk mencapai desa Tekelan dengan berjalan kaki kita akan melewati hutan wisata Umbul Songo dengan jarak 1,8km yang dapat ditempuh selama 45 menit.

Setibanya di basecamp pendakian, kami diberitahu bahwa Gunung Merbabu DITUTUP ! Kontan semua anggota tim kecewa, setelah melewati perjalanan panjang dari Jakarta, sungguh sia-sia rasanya jika pendakian batal dilakukan. Namun, karena cuaca hujan dan juga sudah mulai petang, malam itu kami memutuskan untuk menginap dulu di pos pendakian tersebut. Malam harinya, kami ditemani oleh seorang Ranger (penjaga pos pendakian). Dalam obrolannya dia mengatakan bahwa penutupan telah dilakukan semenjak 1 Februari lalu oleh pihak Taman Nasional Gunung Merbabu (TNGM) mengingat cuaca yang tidak bersahabat pada bulan basah seperti sekarang ini. Kami menanyakan apakah masih ada kemungkinan bagi kami untuk muncak keesokan harinya, dan dia mengizinkan dengan satu persyaratan segala resiko dan kecelakaan harus ditanggung sendiri. Karena tekad kami sudah bulat untuk menggapai puncak Merbabu, kami memutuskan untuk tetap melanjutkan pendakian keesokan paginya.

Ada sebuah jiwa yang didapat dari perjalanan ini, yang timbul dari hubungan yang mesra antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesama serta manusia dengan semesta alam. Gunung Merbabu yang berketinggian 3142 mdpl termasuk gunung dengan jumlah jalur pendakian terbanyak di Indonesia. Secara administratif, pegunungan Merbabu terletak antara tiga kabupaten, yaitu Boyollali, Salatiga, dan Magelang. Posisi gunung yang tergolong kedalam jenis stratovolcano ini sangatlah unik karena merupakan deretan pegunungan yang mengarah ke Utara, bersama Gn.Merapi, Gn.Telomoyo, Gn.Gajahmungkur, Gn.Andong, dan Gn.Ungaran. Nama Merbabu berasal dari kata meru yang berarti gunung dan babu yang berarti wanita. Gunung Merbabu berpasangan dengan Gunung Merapi. Gunung ini termasuk dalam kategori sleeping mountain atau gunung yang sudah tidak aktif lagi meskipun mempunyai lima kawah, yaitu Candradimuka, Kumbang, Kendang, Rebab, dan Sambernyawa. Jalur yang biasa dipakai para pendaki untuk mengggapai puncak Merbabu hanya beberapa, seperti Tekelan, jalur Dakan, dan jalur selo (jalur selatan), lainnya merupakan jalur penduduk untuk mencari kayu atau menangkap burung.

Sabtu pagi setelah sarapan dan repacking, cuaca cukup cerah mengawali pendakian. Pos pertama yang akan kami jumpai ialah pos Pending dengan melewati perkebunan penduduk dengan medan yang cukup menanjak. Kami merasa sangat diuntungkan dengan cuaca cerah ini, karena menurut penuturan penduduk bahwa disana selama beberapa minggu belakangan selalu diguyur hujan dan sesekali angin kencang. Dari Tekelan menuju pos pending berjarak sekitar 1200m yang dapat ditempuh selama 1 jam perjalanan. Di pos Pending (1800 mdpl) terdapat persimpangan antara jalur utama (ke kiri) dan jalur alternative (ke kanan). Dari pos ini mulailah kita akan memasuki hutan, jalurnya terus menanjak mirip perpaduan antara Salak, Cikuray, dan Putri (TNGP). Menuju Pos 1 (Gumuk) dengan ketinggian 2260 mdpl selama 1,5 jam melewati Sungai Kaliwoso dan Pereng Putih di sisi kanan jalan. Karena banyaknya cabang jalur sebelum memasuki pereng putih, tim kami sempat disorientasi arah dan akhirnya tersesat selama lebih kurang tiga jam.

Kami menyadari bahwa kami berada bukan pada trek seharusnya setelah semakin lama jalan yang kami tempuh semakin terjal dengan semak berduri yang sangat lebat. Logikanya, tidak mungkin gunung yang cukup sering disambangi para pendaki ini mempunyai trek yang masih tertutup ranting dan semak sebanyak itu. Kami terus berusaha untuk kembali menemukan jalur pendakian normal, untungnya setelah menyebar tim kami menemukan kembali jalur tersebut, walau butuh waktu lebih kurang tiga jam, waktu yang lumayan lama untuk membuat adrenalin semakin terpacu. Beberapa saat setelah kembali ke jalur normal kami baru menjumpai Pereng Putih. Pereng Putih atau tebing putih yang merupakan sebuah tebing yang menjulang tinggi, terbentuk akibat adanya aktivitas gunung berapi. Pereng ini akan memantulkan suara bila kita berteriak dari punggungan sebelah.

Naik sedikit dari tebing ini, kami melewati Sungai Kethekan yang dapat dijadikan sebagai tempat untuk mencukupi persediaan air karena semakin keatas akan semakin sulit untuk menemukan sumber air. Dari sungai ini menuju pos 1 menghabiskan waktu 20 menit. Setelah istirahat sejenak kami langsung melanjutkan pendakian menuju pos 2 Lempong Sampan yang berjarak 785m dengan waktu tempuh 1 jam. Di pos inilah kami mengisi perut yang sudah mulai keroncongan. Setelah cukup kenyang dan memulihkan tenaga, tim kembali bergerak menuju Pos 3 Watu Gubug (2610 mdpl) yang ditempuh selama 1 jam. Pos ini ditandai dengan adanya rangka-rangka besi sisa bangunan. Didekatnya terdapat batu besar berceruk yang dapat dipakai sebagai shelter, cukup untuk berlindung empat orang. Itulah sebabnya tempat ini dikenal dengan watu Gubug dan merupakan tempat yang disakralkan.

Setelah minum beberapa tegukan, perjalan berlanjut menuju Pos 4 Gunung Watu Tulis selama 1 jam. Kami tiba di pos ini pukul tiga sore. Di pos ini terdapat menara relay milik TNI AD dan sebuah bangunan yang entah digunakan untuk apa dan dipagari kawat berduri disekelilignya. Ditempat inilah kami memutuskan untuk mendirikan camp. Benar saja, 5 menit berselang setelah tenda didirikan kabut tebal dan angin ribut menerpa. Cuaca disini memang dapat berubah seketika, sehingga kewaspadaan harus tetap dijaga. Menjelang tengah malam, kami memasak nasi dengan lauk sosis dan dibumbui dari bumbu mie instan,ditemani secangkir cappuccino hangat, bayangkan sendiri bagaimana “lezat”nya. Setelah melumat habis menu malam itu, satu persatu dari kami mulai masuk kedalam kantung tidur masing-masing.

Ada sedikit “godaan” dari empunya tanah tempat kami mendirikan camp, ditengah ributnya angin yang menerjang diluar tenda, kami mendengar seperti ada yang mengacak-acak isi carrier kami, padahal pada saat itu yang melakukan pendakian hanya tim kami saja karena Merbabu memang sedang ditutup. Ketakutan dan emosi mulai susah untuk dikendalikan, untung kegaduhan itu tidak begitu lama. Sejam berselang, seisi tenda baru tertidur. Keesokan shubuhnya kabut tebal masih menggantung, sehingga sedikit menyulitkan untuk mengamati keindahan terbitnya matahari pagi. Target kami hari ini adalah Puncak Syarif. Pagi datang tanpa suara, yang ada putih dan putih. Angin, kabut dan titik-titik air tak juga henti. Rasa khawatir kadang mampir kadang pergi. Mungkinkah kami melalui Jembatan Setan dalam cuaca angin kencang, kabut pekat dan hujan menderu berikut bawaan kami yang cukup berat. Setelah sarapan roti keju dan bubur instan, pendakian dilanjutkan. Kami berjalan pelan karena jalan yang diselimuti kabut tebal sehingga jarak pandang tidak lebih dari 2 meter.

Lagi-lagi jalur tak ada yang datar, malah semakin terjal dengan tanah lempung bercampur batuan kapur. Kabut semakin menebal meski hujan datang dan pergi. Sebelum mencapai pos 5 kami melewati helipad, sebuah tempat datar disebelah kawah Candradimuka. Disekitar kawah ini kami melewati jembatan setan, dimana disisi kiri kanan jalan terdapat kawah Lanang dan Kawah Wadon. Dengan melalui jembatan setan dan mendaki tanjakan terjal, tim kembali menemui tempat datar yang lebih dikenal dengan Geger Sapi. Medan berikutnya ialah punggungan bukit dan terdapat beberapa jalan yang akan menuju Puncak Syarif, Puncak Pasar Dieng, dan Puncak Kenteng Songo (puncak tertinggi).

Perjalanan dari Simpang menuju Puncak Syarif ditempuh selama 10 menit dengan jarak 130m. Mencapai puncak syarif spontan seluruh tim melakukan sujud syukur, air mata tak sengaja memayungi pelupuk. Dengan memakai slayer Bakrie School of Management kebanggaan kami melakukan do’a bersama di puncak ini, berterima kasih kepada sang alam merbabu karena telah diberi restu untuk menapaki puncaknya. Kami tidak mau mengambil resiko untuk melanjutkan pendakian menuju Kenteng Songo, selain jalur yang tidak begitu jelas dan tidak kami kenal, kabut juga mulai tidak bersahabat. Dan rencana untuk turun melalui jalur selo otomatis gagal, dan memilih cara aman untuk kembali turun melewati jalur tekelan. Kami menyadari sepenuhnya kegiatan alam bebas sangat bergantung dari kondisi alam yang serba tak pasti, mungkin saja ada beberapa hal yang berubah dari rencana awal. Tim kami sangat menghindari pengambilan tindakan dimana nafsu telah mengalahkan akal sehat, keselamatan tetap menjadi faktor utama. Alam tidak bisa dilawan, hanya bisa dikenal, disayang, dan disiasati.

Masih ada sisa hutang buat Merbabu untuk kami datang lagi dikala rindu gunung datang menggaruk-garuk hati. Perjalanan turun tidak seberat mendaki, meskipun kaki harus menahan beban dipunggung yang masih cukup berat. Kami turun selama 4 jam, setelah melapor di pos pendakian kami langsung lanjut menuju Kopeng karena takut ketinggalan Bis yang hanya beroperasi hingga pukul lima sore.

Sore itu, setelah makan sepuasnya di sebuah restoran padang, tim kembali menuju Magelang, untuk melanjutkan lagi naik bis ke Klaten, rumah 2 anggota tim. Kami sampai di Klaten pukul 10 malam dan aku menginap di rumah Toyib. Sempat dihidangkan segelas jahe hangat dan roti, dan tidur untuk mengistirahatkan nyeri yang melanda seluruh badan.

Senin pagi, Sugeng datang mengantarkan motor yang akan aku kendarai menuju Jakarta. Setelah motor diservis, tepat jam 11 siang perjalanan Klaten-Jakarta dimulai. Aku ditemani Amran di bangku belakang yang masih setia dengan bawaaan carriernya menyusuri jalanan Jawa tengah dari Boyolali, Kendal, Semarang, Pekalongan, Tegal, Indramayu, Cirebon, Cikarang dan kembali di Jakarta. Total perjalanan adalah 13 jam dengan trek yang cukup datar, beberapa daerah dengan jalanan berlobang dan bergelombang licin. Memasuki daerah Pantura, motor kami harus bersaing dengan truk gandeng dan petikemas yang mendominasi jalanan. Sepanjang perjalanan dijumpai banyak lobang yang menganga ditengah jalan, jadi kami harus ekstra hati-hati kalau tidak mau motor dan tubuh ringkih digilas besarnya ban truk yang banyak melintas. Walau kantuk dan capek begitu kuat menyerang, namun kami tetap harus sampai di Jakarta malam itu juga, karena keesokan harinya harus masuk kuliah lagi. Akhirnya motor Supra 2003 yang aku kendarai tersebut sampai di Jakarta pukul 3 pagi. Sesampai dikontrakan, aku langsung merebahkan diri dan tertidur pulas untuk mengumpulkan stamina memulai perkuliahan esok hari.

Bila akhirnya semak belukar menutup jalan setapak dan menghentikan jalan kita untuk kembali pulang, Dan bila akhirnya nafas kita berhenti juga disini terkubur bersama ranting dan daun kering yang dingin, apakah itu semua akan tinggal kenangan sia-sia?
Semoga saja tidak ! Tidak bila mayat-mayat kita kelak mampu menitip pesan bahwa gunung bukanlah tempat bermain-main yang didaki tidak dengan persiapan, yang didaki hanya dengan modal semangat, hendak menaklukkan alam...(Milis Pendaki)


*terimakasih kepada sang pemilik alam yang telah mengizinkan kami menggapai Puncak syarif Merbabu dan selamat hingga kembali ke Jakarta, kepada orang tua yang berlapang dada melihat kelakuan masa muda kami (buat Ibu, yakinlah ini bukan suatu kesia-siaan Ibuku sayang), bapak Budi Setyawan dan Prabowo yang setia membimbing dan memantau perjalanan kami, orangtua Toyib atas tumpangan dan makan malam serta sarapannya,dan terhadap semua pihak yang rela merepotkan diri demi kelanjutan perjalanan ini.

Tidak ada komentar: