Januari 23, 2009

Menyapa Kabut Lawu (sebuah catatan perjalanan)

Segala puji syukur bagi-mu Tuhanku,
Untuk saudaraku sang bayu
Untuk udara yang berawan maupun jernih
Dan segala macam cuaca yang kau ciptakan
Yang kau jadikan sarana menghidupi mahluk-mahlukmu

Tulisan ini merupakan sedikit dari cerita perjalanan selama 5 hari (7 – 12 Januari 2009) bersama teman-teman dari Bakrie School of Management (BSM) yang terdiri atas 5 orang tim , serta 1 orang dari President University (PU). Awalnya tim yang akan berangkat dari PU berjumlah 4 orang, namun karena satu dan lain hal 3 orang cewek pendakinya memutuskan untuk batal mengikuti pendakian kali ini. Dengan menaiki kereta bisnis Senja Utama dari Stasiun Senen pada pukul 20.20 WIB, kami menuju St. Balapan, Solo, Jawa Tengah. Dan tiba disana sekitar pukul 8 pagi, awal perjalanan yang cukup panjang.

Tiba di Stasiun Balapan segala lelah dan lapar tertumpah disebuah warung makan. Kami makan di sebauh warung nasi liwet, yang konon merupakan makanan khas kota tersebut. Hal ini penting sekali mengingat perjalanan yang akan ditempuh masih cukup jauh. Selesai itu, rombongan yang berjumlah enam orang ini termasuk aku, Ridwan, Baginda, Fahri, Redha, dan Macin menumpang bis menuju Terminal Tawangmangu, Karang Anyar, untuk ganti kendaraan menuju Pos awal pendakian Cemoro Sewu. Perjalanan dari Solo ke Tawangmangu ditempuh selama lebih kurang dua jam. Udara perlahan-lahan dirasakan begitu segar dan sejuk seiring dengan perjalanan bis yang mendaki perbukitan. Dan tanpa disadari hal itu membuatku sempat terlelap separuh jalan.

Tawangmangu adalah sebuah kota kecil dikaki Gunung Lawu. Banyak terdapat objek wisata didaerah ini seperti air terjun Grojogan Sewu, Telaga Sarangan dengan keindahan danaunya yang begitu memesona, Candi Ceto dan Candi Sukuh yang merupakan Candi warisan Prabu Brawijaya V, raja Majapahit terakhir (15 M). Pasar Sayur Tawangmangu namanya, di tempat ini kami menyempatkan berbelanja logistik dan keperluan lain untuk pendakian. Harga barang barang yang dijual disinipun relative murah. Dari depan Pasar ini pula tersedia Colt jurusan Sarangan yang akan mengantar kita langsung menuju kawasan Taman Nasional Gunung Lawu (TNGL) dan memakan waktu sekitar 1 jam perjalanan. Lokasi pintu masuk TNGL terletak diketinggian 1.800 meter diatas permukaan laut (m.dpl).

Para wisatawan maupun pendaki yang akan mengunjungi Gunung Lawu wajib melapor ke kantor dinas PERHUTANI setempat. Memilih untuk mendapatkan jalur pendakian yang lebih cepat namun nge-track, berpanorama indah dan tertata rapih hingga ketinggain 2.100 m.dpl, kami putuskan untuk melewati pintu Cemoro Sewu. Gunung Lawu memiliki 3 puncak tinggi yaitu Hargo Dalem 3.148 m.dpl, Hargo Dumiling 3.180 m.dpl dan Hargo Dumilah. Yang terakhir tersebut tadi menjadi puncak tertinggi Gunung Lawu yang memiliki ketinggian 3.268 m.dpl. Ketiga tempat tersebut masing-masing memiliki catatan sejarah yang terkait dengan sisa-sisa kebesaran kerajaan Majapahit di nusantara. Jalur pendakian Cemoro Sewu menawarkan banyak panorama yang memukau pemandangan.

Pendaki akan disuguhkan ekosistem flora dan fauna yang beragam seperti ribuan jejeran pohon Pinus dan Cemara, Akasia, Angrek, Edelweiss, Cantigi, Rustania, Puspa, Beringin, beragam jenis burung seperti Burung Anis, Burung Perjak, Burung Kerak, Burung Elang dan suara-suara primata Owa Jawa dikejauhan. Kesemua kehidupan alam liar tersebut dapat dengan mudah kita temukan mulai dari jalur pendakian antara shelter 3 hingga puncak Hargo Dumilah. Untuk menjejak puncak Hargo Dumilah melalui jalur ini memakan waktu sekitar 7 jam pendakian. Para pendaki akan menjumpai 5 shelter peristirahatan yang masing-masing berada pada ketinggian 2.100 m, 2.300 m, 2.500 m dan 2.900 m dan shelter terakhir pada ketinggian 3.100 m.dpl. Hingga sekarang ekosistem tumbuhan dan binatang yang hidup di kawasan Gunung Lawu masih terjaga dengan baik karena masyarakat yang tinggal di kaki gunung merasa takut jika hutannya dirusak maka penguasa Lawu yang tak lain adalah Sang Prabu Majapahit Brawijaya V, akan murka. Di Gunung Lawu, terdapat 2 jalur yang cukup popular di kalangan para pendaki, Cemoro Kandang dan Cemoro Sewu. Perbedaannya yaitu di Cemoro Sewu treknya lebih jelas, lebih pendek, dan lebih aman, walaupun sedikit terjal dengan tebing bebatuan di sisi kanan-kirinya. Sedangkan jalur di Cemoro Kandang relatif lebih landai namun dengan jarak tempuh hampir dua kali lebih jauh dibanding melewati Cemoro Sewu.

Walaupun kedua pos ini hanya terpisah 500 meter satu sama lainnya, tetapi sebenarnya keduanya terletak di dua provinsi berbeda. Cemoro Kandang terletak di Kab.Karanganyar, Jawa Tengah sedangkan Cemoro Sewu termasuk dalam territorial Kab. Magetan, Jawa Timur. Gunung ini secara geografis terletak pada 7.625’ LS dan 111.192’ BT, serta termasuk dalam jenis stratovolcano yang telah lama tidak aktif dan terbentuk pada masa Holocene. Tidak tercatat adanya letusan vulkanik sejak Abad 19, namun pernah terjadi gempa di tahun 1978 dan 1979.

Terdapat banyak kawah kecil di Gunung ini, pada ketinggian 2500 mdpl, dan tersebar pada kedua jalur. Sebelum memulai pendakian, di pos Cemoro Sewu, kami memutuskan untuk beristirahat memulihkan tenaga yang cukup terkuras setelah perjalanan jauh dari Jakarta, dan akan memulai pendakian sekitar jam 8 malam. Hujan gerimis mewarnai awal pendakian dari Cemoro Sewu ini. Medannya relatif landai dengan melewati hutan pinus dan akasia, menjelang Pos I terdapat ladang penduduk. Sebelum Pos I kita akan melewati persimpangan, yang ke kanan menuju Sendang Panguripan, sementara yang lurus menuju Pos I. Di pos I ini terdapat sebuah pondok yang biasa digunakan untuk melepas lelah sejenak bagi para pendaki. Perjalanan menuju pos II / Watu Gedek (2300 mdpl) kami tempuh selama 1 jam. Di pos II ini terdapat pondok yang dikelilingi tebing, kami sampai di pos ini pada pukul 11 malam, dengan kondisi cuaca yang berkabut dan gerimis.

Melihat kondisi tim yang sudah mulai agak melemah dan dengan mempertimbangkan factor cuaca, kami memutuskan untuk nge-camp sementara di pos ini, dan akan melanjutkan perjalanan keesokan paginya. Karena kondisi tenda yang hanya bisa menampung 4 orang, kami pun harus bergantian untuk tidur, sementara 2 orang lainnya bertugas menjaga tenda diluar. Esok paginya, setelah sarapan bubur instan dan kopi hangat kami melanjutkan perjalanan pada pukul 8 pagi menuju Pos III Watu Gede (2500 mdpl) yang ditempuh selama 1 jam 30 menit. Dari pos III ke Pos IV Watu Kapur (2800 mdpl) ditempuh selama 1 jam, dengan medan yang lumayan curam melalui kawah kecil yang menyemburkan bau belerang. Kawah tersebut diapit 2 bukit yang dasarnya labil sehingga tekanan dari bawah tanah (magma) dapat menembus keluar. Namun, karena terletak di jurang, kawah ini sulit dikunjungi. Dari Pos IV menuju Pos V (3000 mdpl) dapat ditempuh selama 30 menit. Pos V Jalatunda hanya tinggal rangka kayu seperti Pos IV. Kemudian dilanjutkan menuju Sendang Drajad selama 15 menit.

Jalur pendakian yang landai hingga sejauh lebih kurang 500 m terlihat dengan jelas membentuk sebuah garisan panjang yang melipiri tebing dengan jurang-jurang dikanannya. Dari ketinggian ini, kota-kota dibawah kaki Gunung Lawu terlihat semakin mempesona. Menjelang mata air Sendang Drajat, dikiri diluar jalur pendakian terdapat sebuah savana kecil yang ditumbuhi bunga-bunga Edelweiss dan tetumbuhan hutan lainnya. Ditengah-tengah savana ini terdapat sebuah batu besar dengan gambar telapak kaki manusia diatasnya. Konon pemilik telapak kaki ini adalah Maha Patih Majapahit Gajah Mada yang terkenal dengan sumpah Palapanya untuk seantero nusantara. Dibebatuan tebing yang mengapit savana ini terdapat sebuah Goa yang disebut Sumur Jolotundo. Sumur ini gelap dan sangat curam, memiliki kedalaman lebih kurang 5 meter dengan lubang bergaris tengah sekitar 3 meter. Untuk turun ke dalam sumur harus menggunakan tali dan lampu senter.

Di dalam sumur terdapat pintu goa dengan garis tengah 90 cm. Konon sumur Jolotundho ini sering digunakan untuk bertapa dan guru-guru untuk memberi wejangan/ pelajaran kepada murid-muridnya. Sumur Jalatunda atau Gua Segolo-golo yang terdapat sebelum Pos V merupakan terowongan bawah tanah yang jika ditelusuri kedalamnya maka kita akan melihat air yang terus menerus menetes dari langit-langit gua. Air ini begitu jernih namun dingin sekali. Nama Segolo-golo berasal dari kata segolo yang berarti segalanya. Banyak orang yang mempercayai bahwa bila kuat bertapa di gua itu maka segala permintaannya akan dapat terpenuhi. Kami menginjakkan kaki di Sendang Drajad pada pukul 2 siang, agak terlambat dari yang direncanakan, disebabkan kondisi trek berbatu yang terjal dan bebatuan yang runcing-runcing yang sedikit menyulitkan pendakian dan harus ekstra hati-hati agar tidak terperosok ke jurang di sisi jalan.

Sendang Drajad merupakan mata air tertinggi disini, dan digunakan untuk memenuhi ketersediaan air baik pendaki maupun peziarah yang sering mengunjungi gunung ini. Air sumur ini tidak pernah habis atau mengering walaupun diambil terus menerus dimusim kemarau. Air Sendang Drajad ini dipercaya dapat memberikan mukjizat dan penyembuhan supranatural bagi orang-orang yang meminumnya. Nama Sendang Drajad berasal dari kata sendang yang berarti mata air dan kata drajad yang berarti pangkat. Jadi arti lengkapnya adalah mata air yang memberi berkat berupa kenaikan pangkat, oleh sebab itu air disini dipercaya sebagai air suci. Di Sendang Drajad ini kami tidak bisa melihat pemandagan apa-apa, karena kabut cukup tebal yang menghalangi pandangan pada waktu itu. Malam kedua kami memutuskan untuk menginap di warung yang ada disini. Keberadaan warung disini bisa dikatakan sebagai sebuah fenomena, karena berada pada ketinggian diatas 3000 mdpl, barangkali inilah warung tertinggi yang ada di Indonesia.

Di sendang drajad sendiri terdapat 2 warung, yang menyediakan makanan dan minuman hangat. Malam menjelang pagi udara dingin terasa sangat menusuk tulang, tak terbayangkan jika tak ada warung ini dan kami harus mendirikan tenda dengan konsekuensi harus jaga diluar tenda secara bergantian, betapa dinginnya. Pada malam ini kami bercerita banyak dengan penjaga warung, yang mengatakan bahwa ia telah berjualan disana selama puluhan tahun, dan harus berbelanja turun gunung untuk membeli kebutuhan warungnya satu kali dalam 2 minggu. Pada malam ini, juga ada rombongan Menteri dari Departemen Pertambangan Republik Indonesia yang datang kesini untuk melakukan ritual ziarah.

Dari cerita yang kami dapat, pada bulan Suro seperti ini memang terdapat banyak peziarah yang mengunjungi gunung ini, dengan berbagai tujuan. Bahkan seringpula diantara peziarah tersebut ialah para pemegang kekuasaan di Negara ini. Setelah beristirahat semalaman, keesokan shubuhnya kami meneruskan perjalanan menuju puncak dengan memakan waktu selama kurang dari setengah jam karena kami memotong jalan melalui punggungan bukit yang cukup curam. Hargo Dumilah adalah nama Puncak Lawu (3265 mdpl), tempat ini ditandai dengan adanya tugu setinggi 2 meter. Di dekat puncak terdapat pondok yang dibangun oleh para pertapa. Gunung Lawu yang dahulu bernama Wukir Mahendra dipercaya sebagai pusat kerajaan pertama di Pulau Jawa. Keraton Surakarta dan Yogyakarta sebagai penerus kerajaan Mataram mempunyai hubungan erat dengan gunung ini. OIeh karena itu mereka sering mengadakan upacara spiritual disini. Nama “Lawu” berasal dari nama Sunan Lawu, cucu Raja Brahwijaya V, raja majapahit terakhir yang melarikan diri bersama pasukannya dari serbuan Kerajaan Demak.

Hargo Dumilah, nama puncak Lawu diyakini sebagai tahta Raja Brahwijaya V. Disitulah rakyatnya bersujud menyembah raja mereka. Pemandangannya makin indah dengan gumpalan awan yang menghampar jauh dibawah jejakan kaki. Langitnya makin biru. Anginnya makin sejuk dan tetap kering. Mataharinya tetap terik namun hati semakin takjub mensyukuri diri dapat memandangi sekelumit karya dari Sang Pencipta alam semesta. Pemandangan dari Puncak Hargo Dumilah pada saat tertutup awan sangat indah. Jika melepaskan pandangan kearah timur maka kita dapat menyaksikan beberapa puncak gunung lainnya seperti pulau - pulau kecil yang dibatasi oleh lautan awan, seperti yang digambarkan dalam kahyangan.Bila udara bersih tanpa awan kita dapat melihat pantulan matahari dideburan dan riak ombak Laut Pantai Selatan. Sangat jelas terlihat kota Wonogiri juga kota-kota di Jawa Timur. Tampak juga waduk Gajah mungkur juga telaga Sarangan. Melepaskan pemandangan kearah barat, kita akan melihat pucuk puncak Gunung Merapi dan Gunung Merbabu.

Bandana Bakrie School of Management pun sukses untuk pertama kalinya kami kibarkan di puncak ini. Tidak ada kata lain selain rasa haru yang membuncah di dada, dengan semangat kebersamaan sang Lawu telah mengizinkan kami semua untuk mencumbu ujung dari ketinggiannya. Sujud syukur spontan kami lakukan atas kebahagiaan berhasilnya ekspedisi kali ini. Dengan saling berangkulan kami berfoto bersama di Hargo Dumilah ini sambil mengibarkan Bandana BSM yang kami bawa, dilanjutkan juga dengan pengibaran kedua bandana BSM-President University dengan berlatar tim yang berjumlah sebanyak enam orang. Setelah puas berfoto dan menikmati keindahan ciptaanNya, kami kembali ke Sendang Drajad, untuk mengambil perlengkapan yang tadi ditinggal di warung dan kemudian langsung menyusur jalan turun ke Cemoro Sewu. Sebelumnya kami memberikan sisa logistik yang kami punya kepada penjaga warung sebagai bentuk ungkapan terima kasih, sekalian pamit.

Jika pada perjalanan naik kami harus beberapa kali break untuk menormalkan pernafasan dan beradaptasi dengan semakin tipisnya udara pegunungan, pada jalan turun kami harus menahan beban agar tidak terperosok, tak ayal kaki kami harus jadi “korban”. Kami hanya butuh waktu setengah dari total waktu untuk naik pada saat turun ini. Walaupun selepas pos III kami harus tetap berjalan melawan derasnya hujan, semua tim akhirnya bisa selamat sampai di pos Cemoro Sewu. Sore itupun kami langsung menuju Tawangmangu, dan kemudian dengan menumpang Bis Langsung Jaya meneruskan perjalanan menuju Solo. Kereta Gaya Baru Malam yang sebenarnya berangkat dari Surabaya datang tepat pada waktu yang tertera di jadwal. Kondisi kereta sudah sangat dipenuhi penumpang, jadi kami tidak kebagian kursi. Kami sebenarnya baru membeli tiket di atas kereta, dengan tarif 100.000 untuk 6 orang. Sangat murah memang untuk ukuran perjalanan Solo-Jakarta. Perjalanan selama 12 jam, dan pada pukul 08.00 pada tanggal 12 Januari kami telah sampai kembali di Stasiun Pasar Senen, Jakarta.


Banyak pelajaran yang kami petik dari perjalanan selama 5 hari ini (7-12 Januari 2009), dari pelajaran mengenai menghargai alam, melihat lebih dekat keindahan dan keagungan ciptaanNya, hingga arti dari sebuah persahabatan dan kerjasama suatu kelompok. Prinsip yang kami pegang ialah bahwa tidak selamanya belajar harus di ruangan kelas, karena alam juga menawarkan khazanah ilmu yang tak terbatas bagi kita yang mau mempelajarinya.

Tiada alasan untuk tidak mengakui adanya Sang Pencipta. Kami nampaklah begitu alit dibandingkan kosmos yang diciptakan Tuhan. Benar, hanya pikiran, daya dan upaya yang bisa mengantarkan kita untuk mencapai pengertian kesemestaan. Tentunya, kami bahagia ketika jiwa ini terasa dekat dengan Sang Pencipta. Sebuah harapan dari kami adalah semoga pada pendakian selanjutnya bisa melibatkan kalangan lebih luas dalam lingkup kampus BSM, baik yang berasal dari mahasiswa sendiri ataupun dari dosen atau para staff. Kita semua menyepakati bahwa sebuah perjalanan atau berkegiatan di alam terbuka mempunyai faktor resiko tersendiri. Dimana faktor resiko tersebut dapat ditimbulkan dari diri kita sendiri/ perilaku dan dari luar diri kita, seperti kondisi lingkungan. Faktor faktor resiko tersebut dapat diminimalisir atau dikurangi salah satunya dengan menerapkan prinsip prinsip manajemen perjalanan. Manajemen perjalanan mutlak diperlukan apalagi jika perjalanannya atau kegiatannya mempunyai media kegiatan di alam terbuka,.dengan melakukan manajemen perjalanan maka kita dapat merencanakan kegiatan kita dengan terperinci dan terorganisir.

Yang juga tak kalah pentingnya dan bisa dikatakan mutlak diperlukan dalan suatu perjalanan adalah kepemimpinan.Dalam setiap kegiatan dibutuhkan seseorang yang tanggung jawabnya adalah untuk memimpin kegiatan tersebut berjalan dengan baik dan sesuai dengan apa yang telah direncanakan. Kepemimpinan adalah cara seseorang mempengaruhi orang lain untuk bekerjasama mencapai satu tujuan tertentu. Pengalaman dialam terbuka menuntut tiga aspek dasar manusia : fisik, mental dan emosi. Keseimbangan dimiliki dalam bentuk: pikiran yang mengontrol ketegangan emosi dan gerak tubuh, saat berhasil mengatasi tantangan pada saat bersamaan muncul kepuasan emosi dan kegembiraan. Kegiatan petualangan dengan media alam sebagai tantangan menuntut kemampuan memahami potensi bahaya dialam dan keharusan menghormati potensi itu, ini merupakan titik awal yang mudah dirangsang untuk memiliki rasa hormat terhadap potensi keseluruhan alam. Dalam situasi petualangan, khususnya bila penampilan diri atau rasa percaya diri dituntut oleh situasi tersebut, maka beberapa sifat dan kualitas diri harus dipenuhi, seperti :disiplin diri, percaya diri dan kehormatan diri, determinasi atau kebutuhan bekerja sangat keras dalam menyelesaikan suatu permasalahan, vitalitas atau pendekatan yang sangat positif yang diperlukan secara esensial untuk mencapai sukses dari sebuah target, konsentrasi, dan pengambilan keputusan yang tepat dan cepat dalam situasi terburuk sekalipun. Kegiatan petualangan dengan memakai media alam sebagai tantangan yang juga dapat dirancang untuk dilakukan berkelompok, akan dapat merangsang beberapa potensi sifat atau kemampuan tertentu. Beberapa tantangan yang dihadapi secara teknis benar-benar menuntut untuk dihadapi bersama, sehingga akan menimbulkan rasa hormat kepada orang lain. Tuntutan kemampuan lain dalam kegiatan dialam terbuka adalah pandangan kedepan, inisiatif dan akal sehat, tidak egois, kehangatan.

Disini dapatlah kita lihat secara nyata bahwa ilmu yang kita peroleh di bangku perkuliahan sebenarnya dapat kita praktekkan langsung dengan melakukan kegiatan di alam terbuka (outdoor activities).Kedepannya semoga lebih banyak lagi masyarakat kampus yang mau terlibat langsung dengan kegiatan yang banyak memberikan efek positif ini, dengan hasil akhir yang diharapkan agar dapat lebih menghargai alam seisinya dan berujung pada suatu sikap tunduk, syukur dan penghambaan kepada sang maha pencipta, bahwa kita hanyalah setitik noktah dari segala ciptaanNya.

Bila aku tidak mencoba sesuatu
Aku tidak akan pernah mendapatkan pelajaran dari sesuatu
Dan inilah petualangan, penuh ketidakpastian
Aku melangkah kedalam ruang ketidaktahuan
Kusadari sepenuhnya adanya bahaya di sekitarku
Kuakui lebih merupakan bayangan daripada kenyataan
Dan sebuah kecintaan atas kelenggangan liar dari bukit-bukit di sekitarku

*Tulisan ini aku dedikasikan kepadaTuhan Yang Maha Esa atasTuhan Yang Maha Esa atasberkat, kasih, dan bimbinganNya. Ibundaku tercinta (my biggest LOVE) yang begitu luar biasa mendidikku dan memberiku begitu banyak banyak inspirasi kehidupan, Ayahku yang mengajarkan tentang kesederhanaan dan keberanian dalam menghadapi tantangan kehidupan.Terima kasih secara khusus kepada teman seperjalananku yang memberiku pencerahan tentang arti sebuah persahabatan dan kebersamaan, Laura Yulia Rahmah bunga hidupku, Bp.Budi Susanto atas pinjaman alat dan informasinya, Bp.Prabowo atas segala bimbingannya, Kang Bayu Tresna (TRUENORTH Bandung), Mas Aji Rachmat (SIOUX Indonesia), Mas Djarody (MAPALA Satu Bumi UGM dengan kisah perjalanan inspiratifnya ke Gunung Raung via Glenmore), Mas Mohammad Anshori, dan semua rekan di Milist Jejak Petualang atas semua kisah inspiratifnya dalam suatu diskusi denganku,Bapak penjaga warung di Sendang Drajad atas tumpangan tidurnya, bapak sopir pickup yang memberikan tumpangan gratis bagi kami hingga stasiun Purwosari, semua keluarga besar BSM – PU atas segala dukungannya, dan terhadap semua pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu yang secara langsung maupun tidak ikut membantu kelancaran pendakian kali ini.Mohon maaf apabila dalam tulisan ini masih terdapat banyak sekali kekurangan, maklum masih dalam tahap pembelajaran.Maju terus dunia petualangan Indonesia…

Tidak ada komentar: