Januari 23, 2009

Kampusku Idamanku

Tulisan ini dikemukakan dilatarbelakangi oleh semakin tidak sehatnya suasana kehidupan berkemahasiswaan yang ada dikampus, setidaknya itu yang saya pribadi rasakan, saya berharap pandangan yang akan disampaikan ini tidak sepenuhnya benar dan barangkali teman-teman bisa memberikan pembenaran dan koreksi untuk kemajuan kita bersama, mari berdiskusi dan berkontribusi untuk kampus tercinta…

Faktor Mahasiswa

Kampus Bakrie School of Management merupakan institusi pendidikan yang telah berdiri semenjak tiga tahun silam, dan saat ini memfokuskan pendidikannya pada bidang ekonomi dan bisnis. Kampus yang berdiri dibelakang nama besar BAKRIE ini memiliki motto untuk menyiapkan para lulusannya untuk dapat bersaing dan memenangkan kompetisi dalam kehidupan bisnis yang riil, setidaknya itulah cita-cita mulia yang yang diinginkan para pendirinya. Seiring dengan telah terdapatnya tiga angkatan yang menjalani perkuliahan dikampus ini, maka kita juga telah bisa melihat berbagai dinamika kehidupan mahasiswa didalamnya.

Secara garis besar, banyak orang yang mengartikan mahasiswa sebagai pelajar yang menempuh pendidikan di perguruan tinggi.Unsur diferensia dari definisi ini terletak pada jenjang pendidikan di perguruan tinggi. Jikapun ada pembeda lainnya hanya terletak pada tugas-tugas yang memiliki porsi lebih banyak diabanding ketika di sekolah dasar atau menengah, dan jika boleh ditambahkan adalah makhluk intelektual yang notabene memiliki kebebasan. Namun kebebasan ini terkadang tak luput dari tindak pengsalahartian oleh banyak pelakunya, mungkin kita sendiri juga termasuk didalamnya.

Yang paling dominan terjadi ialah sikap fetisisme yang banyak menjangkit dikalangan mahasiswa. Fetisisme disini memiliki definisi berlomba-lomba mendapatkan nilai akademik bagus tanpa mampu bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya dan mengaplikasikan nilai yang diperoleh tersebut dalam lingkungan masayarakat. Sebagian mungkin akan mengemukakan alasan bahwa mereka melakukan itu karena tuntutan beasiswa yang mewajibkan setiap mahasiswa mencapai nilai tertentu, tapi yang ingin saya kemukakan adalah bukan berarti dengan tutuntutan itu kita menjadi sosok “egois” yang hanya berlomba untuk mendapatkan nilai tertinggi,dan mengenyampingkan isu-isu social yang terjadi yang pada hakekatnya membutuhkan pemikiran dan langkah konkrit dari kita para mahasiswa. Lingkungan mahasiswa tidak ubahnya bagai sebuah tempat isolasi untuk mencari nilai, gelar dan kelulusan. Seminar-seminar yang diadakan di berbagai kampus ramai dikunjungi hanya untuk mendapatkan selembar sertifikat. Entah disadari atau tidak oleh pelakunya, di dalam mengonsumsi pengetahuan dan berbagai gaya hidup, ia menjadi mayoritas yang diam, yang hanya dapat menyerap segala sesuatu tanpa mampu menginternalisasikan dan memaknainya. Hal ini dapat dilihat langsung dari minimnya iklim berdiskusi khususnya dikalangan sesama mahasiswa menyangkut kasus social kemasyarakatan yang membutuhkan pemikiran cemerlang dari para kaum intelektual ini.

Dilain sisi budaya di kampus pun juga menyentuh aspek banalitas. Ruang-ruang kampus tidak ubahnya seperti yang dikatakan oleh seorang pakar sebagai “shop display”. Mahasiswa didalamnya lebih senang menampilkan gaya bicara, gaya pakaian (tidak ubahnya dengan patung-patung di toko pakaian yang memamerkan model pakaian yang sedang popular), gonta-ganti gadget dengan tekhnologi paling terkini ketimbang mengejar pengetahuan dan mengaplikasikannya. Sebaliknya, di jalanan masih banyak terlihat kaum kurang beruntung yang demi mendapatkan sesuap nasi harus berhadapan dengan kerasnya kehidupan jalanan, kriminalitas dan bahkan maut yang menghantui. Tidakkah kita miris menyaksikan dua hal bertolak belakang ini terjadi disekitar bahkan di kehidupan kita sendiri ?

Faktor Kampus

Suasana kurang kondusif tidak hanya berasal dari kalangan mahasiswanya sendiri. Sebagian atau bahkan keseluruhan dari kita menyepakati bahwa kampus dalam fungsinya sebagai fasilitator memiliki peranan yang tak kalah penting. Sadar atau tidak, terdapat beberapa kejanggalan kebijakan yang menyangkut kepentingan kampus – mahasiswa. Yang paling terkini yang dapat kita rasakan bersama adalah pendirian koperasi di lingkungan kampus. Koperasi yang sepenuhnya didirikan oleh para staff ini menjadi suatu dilemma dimana disaat yang sama para mahasiswa yang tergabung dalam salah satu departemen terkait kewirausahaan di Badan Eksekutif Mahasiswa juga bermaksud sama untuk mengadakan koperasi yang melayani kebutuhan masyarakat kampus secara keseluruhan ini. Terkesan bahwa mahasiswa kalah start dengan para pendiri koperasi yang ada saat ini. Ironis, kampus yang katanya akan mendidik para peserta didiknya untuk menjadi entrepreneur muda ini terkesan tidak mau kalah dalam meraup keuntungan dengan mahasiswanya, disebabkan isu terakhir yang beredar bahkan menyatakan bahwa koperasi tersebut seisinya dipunyai dan dikelola sepenuhnya oleh para staff, tanpa bisa dicampurtangani oleh mahasiswa dalam hal pengadaan barang sekalipun. Hal ini jelas-jelas menutup kemungkinan bagi para mahasiswa untuk mengembangkan dan mempraktekkan langsung ilmu bisnis yang diperoleh di bangku perkuliahan, khususnya didalam area kampus.

Sebelumnya juga hangat diperbincangkan mengenai pengadaan jas almamater. Sebagaimana kita ketahui, bahwa jas alamamater merupakan symbol dan kebanggaan dari mahasiswa dari suatu kampus untuk memakainya, baik pada acara internal yang diadakan dilingkungan kampus sendiri apalagi acara eksternal dimana terdapat berbagai mahasiswa yang mungkin tergabung dalam acara tersebut, dan disinilah mereka berkesempatan menunjukkan jati dirinya. Adalah suatu situasi yang miris dimana suatu kampus yang telah mempunyai sebanyak tiga angkatan mahasiswanya, sampai detik ini belum memiliki almamater kebanggan sebagai penunjuk jati diri.

Hal lain yang menjadi sorotan ialah pencabutan beasiswa akademik bagi mahasiswa yang memiliki nilai “dibawah standar” yang ditetapkan. Pencabutan yang terjadi beberapa waktu lalu ini menjadi tidak rasional ketika sebagian dari mahasiswa yang tergolong dalam kelompok ini ada yang mendapatkan semacam “orang tua asuh” dalam membayar biaya perkuliahan. Sedangkan sebagian lainnya yang mengalami nasib kurang beruntung diharuskan untuk membayar penuh biaya perkuliahan. Tidak begitu jelas criteria apa yang digunakan para pengambil keputusan dalam penggolongan ini. Jika disebutkan kalau pembagian ini berdasar pada tingkat kemampuan ekonomi orang tua mahasiswa, keputusan ini jelas cacat karena didalam mahasiswa yang masuk dalam daftar penerima bantuan program orang tua asuh ini terdapat individu yang secara financial bisa dikatakan berada pada golongan ekonomi menengah keatas, bahkan jauh diatas mahasiswa yang diwajibkan untuk membayar biaya perkuliahan secara “full”. Saya hanya menyayangkan mengapa hal ini bisa terjadi, dimana para pengambil keputusan strategis disini hendaknya melakukan pengamatan dan pendekatan secara intensif sebelum para mahasiswa ini dikelompokkan. Sebab menurut hemat saya bahwa keputusan ini tidak hanya menyangkut soal uang, tetapi juga bersinggungan dengan masalah moral para mahasiswa korban kebijakan ini. Tentu tidak satupun orang yang dapat menerima begitu saja kondisi dimana mereka yang memiliki situasi keuangan yang tidak begitu bagus harus rela menghadapi rekannya yang memiliki nilai dibawah yang mereka dapatkan dan dengan situasi ekonomi sama bahkan diatas mereka tidak dikenakan kewajiban untuk membayar biaya perkuliahan. Hal ini secara langsung ataupun tidak dapat menyuburkan tingkat kecemburuan social, yang berujung pada tidak kondusifnya suasana pergaulan dikalangan sesama mahasiswa sendiri.

Beberapa contoh situasi tersebut menunjukkan adanya upaya pembatasan-pembatasan yang dilakukan demi kepentingan pihak tertentu yang berselubung untuk menjalankan dan melancarkan misi tertentu. Dengan segala cara mahasiswa diberi ruang gerak terbatas dan secara tersirat adanya restriction tersendiri, mulai dari pihak birokrasi kampus hingga lebih jauh pada pihak-pihak nonkampus yang mencoba melebarkan sayapnya. Hal ini semakin memperjelas perampasan hak untuk berekpersi, berpendapat dan berorganisasi yang semuanya berpengaruh tidak saja dalam intra-kampus semata. Dan tentu saja semua tekanan ini menjadi tantangan tersendiri yang sangat sulit dihadapi.

Berbagai aktifitas yang berlangsung mulai dari aktifitas social kemasyarakatan mahasiswa baik untuk memperjuangkan hak-haknya dikampus sampai di masayarakat nyata juga terkesan mengalami hambatan dari pihak kampus. Sebagai mahasiswa aktif tentunya kita dapat merasakan bersama. Dari semua tindakan birokrasi kampus tersebut memiliki kesamaan pola, yaitu dengan berbagai macam peraturannya (Surat Keputusan dan peraturan kampus), dan terkadang lebih parahnya lagi ada anggapan bahwa aktifitas mahasiswa untuk memperjuangakan hak-haknya, dan mengkritik kebijakan kampus adalah tindakan yang mencemarkan almamater, dan nama baik perguruan tinggi. Hal ini tentu saja amat sangat disayangkan.

Sesungguhnya partisipasi aktif mahasiswa dalam kehidupan sosial politik bisa saja dilakukan asalkan pada konteks dan kedudukannya sebagai mahasiswa dimana setiap langkah gerakannya adalah dalam rangka memperjuangkan nilai-nilai moralitas bangsa dan negara, sebagai ”social control”. Jadi penulis beranggapan bahwa demonstrasi adalah salah satu dari cermin intelektualitas mahasiswa, jika demonstrasi itu berada pada posisi demi membela kepentingan bersama. Maka dari itu penulis tidak sepakat jika ada anggapan bahwa silahkan boleh bicara politik dari rel akademis bahkan secara ilmiah tetapi jangan sampai demo-demoan. Pendapat ini jelas merupakan kunci mati mahasiswa dalam berpartisifasi aktif dalam kehidupan sosial politik. Jika pendapat di atas menjadi sebuah legalitas dan berbentuk kebijakan-kebijakan, maka akan menciptakan kader-kader bangsa yang kurang antisipatif terhadap lingkungannya, kurang mempunyai kepedulian sosial dan rasa keprihatinan yang mendalam terhadap kondisi bangsanya. Dalam ruang lingkup tertentu, memang sebagian mahasiswa Indonesia mulai menganggap demonstrasi ataupun penyaluran orasi sebagai sesuatu yang membosankan, membuang-buang waktu, dan tidak bermanfaat. Hal ini terlihat dari banyaknya opini negatif mahasiswa terhadap rekan-rekannya yang berdemonstrasi di luar kampus. Mereka berkecenderungan untuk berfikir bahwa belajar di kampus, mendapat indeks prestasi yang tinggi agar cepat lulus, sehingga dapat secepatnya merasakan dunia kerja, adalah sesuatu yang utama dan sangat dinanti-nantikan. Tapi ketika mereka memimpikan hal tersebut, mereka lupa bahwa idealisme dan daya kritis – hal yang sangat melekat dengan jiwa mahasiswa - menjadi terpendam atau boleh jadi hilang. Mahasiswa sering lupa bahwa ketika mereka lebih senang menikmati pesta, dan mereka sudah enggan untuk mendengarkan atau mungkin mengkritik setiap masalah di negerinya, mereka tidak sadar bahwa masa depan negaranya di tentukan oleh tangan-tangan mereka.

Mahasiswa melalui perwakilannya yaitu Badan eksekutif Mahasiswa harus bersama-sama membangun dan mempresentasikan peran sosialnya atau yang kemudian dikenal dengan Student Governtment. Dengan konsep ini, kampus menemukan faktor dominannya untuk mensikapi berbagai dinamika yang terjadi menyangkut kepentingan mahasiswa itu sendiri bahkan untuk kepentingan masayarakat, bangsa dan negara. Mahasiswa harus kembali menemukan jati dirinya, eksistensi mahasiswa harus diperjuangkan, karena mahasiswa adalah insan berkepribadian, yang selalu menjunjung tinggi sikap idealismenya. Penyadaran untuk kembali mengkondusifkan suasana berpikir kritis dan berani bertindak memang membutuhkan waktu tidak sebentar, namun usaha-usaha menghidupkan kembali melalui diskusi-diskusi kecil yang bisa menjadi bola salju yang besar harus terus digalakkan. Selain itu pola pikir yang tumbuh dalam jiwa muda yang progresif harus bisa menggugah sebagian mahasisiwa lainnya untuk bersama bergerak membangun bangsa dengan kemampuan berkarya masing – masing. Negara kita Indonesia mengharapkan datangnya generasi yang tidak hanya pandai dalam hal ilmu saja namun juga harus peka terhadap lingkungan dan kritis terhadap kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemegang kebijakan . Hal itu akan berfungsi sebagai kontrol sosial untuk melindungi pihak-pihak yang lemah. Kebebasan berpendapat mahasiswa hendaknya tidak dipasung. Kepada para mahasiswa justru harus didukung untuk mengembangkan kebebasan berpendapat dan mengutarakan gagasan. Dengan cara ini, maka upaya peningkatan pemahaman nilai-nilai humanisme akan terpenuhi karena pada dasarnya mahasiswa adalah generasi penerus bangsa yang sangat diharapkan untuk kemajuan bangsa dan Negara.

*tulisan ini hanya sebatas pengetahuan dan kapasitasku sebagai mahasiswa yang juga mengalami dinamika sebagaimana disebutkan diatas. Mohon maaf apabila terdapat pihak-pihak yang merasa tersinggung dengan tulisanku ini, aku hanya ingin menyampaikan secara jujur kenyataan yang terjadi untuk perubahan kearah yang jauh lebih baik bagi kita semua. Mari kita budayakan berpikir kritis dan lebih membuka diri terhadap persoalan social kemasyarakatan yang banyak terjadi diseliling kita. Teruslah berkarya. Salam….

Tidak ada komentar: