Maret 07, 2008

seorang ibu dan sebuah pencapaian

Aku tidak akan pernah tahu apa arti perjalanan ini sebenarnya. Tidak sekarang, tidak kemarin, mungkin juga tidak hari esok. Yang pasti, kemana pun aku melangkah, aku berusaha menjadi orang yang berguna buat lingkungan tempat aku bersandar. Masih teringat dengan jelas makian ibu ketika pertama kali aku merayunya untuk bisa ikut dalam acara pendakian ke marapi. " Nggak ada kemping-kempingan! Kamu pikir kamu mao jadi apa? Tarzan? Tidur dihutan, makan seadanya, berteman dengan para gelandangan gunung itu! Apa kamu pikir ibu terima liat kamu 'cari mati' seperti itu....! Nggak, sekali ibu bilang nggak...nggak! Titik!"

Ah..ibu selalu saja begitu. Tidak pernah memberi aku secuilpun harapan untuk melakukan hobiku. Yang ada didalam pikirannya hanya ada cita-citanya supaya aku bisa menjadi seorang pemuka negeri yang ternama. Cita-citanya, bukan cita-citaku.

Kejadian beberapa tahun yang lalu itu, hingga kini masih berbekas dalam ingatanku. Jelas. Sejelas aku bisa melihat hamparan putih didepan ku. Hamparan awan putih yang bergerak perlahan-lahan menjauh dari puncak abadi para dewa-dewi di kayangan. Entah lah, aku masih berfikir, apakah sikapku yang membangkang terhadap orang tuaku, terutama ayah-ibuku, menjadikan aku sebagai seorang anak durhaka? Ketidakinginanku untuk mengikuti segala perkataannya membuatku seperti Malin Kundang?..
Sejak penolakan pertama, aku menjadi orang yang sangat menggilai semua tentang kegiatan alam bebas. Masa-masa SMU, ku habiskan bersama beberapa temanku untuk melakukan pendakian ke gunung-gunung di sekitaran sumatera barat,baru itu!. Satu persatu impianku terbayar. Ketika di SMP dulu, aku hanya bisa menangis atau menatap dengan nanar manakala teman-teman menceritakan pengalaman mereka bermain ke curug "anu" bersama si itu. Rasanya sangat tidak mungkin buatku melakukan itu. Pikiran ku menerawang pada suatu malam ketika ayah marah-marah kepada ku didepan ibuku, ketika tahu aku baru pulang dari mendaki sebuah gunung,MARAPI.
"Ibu gimana sih, ngurus satu anak aja nggak beres. Malah dia jadi liar seperti itu sekarang! Naik gunung, masuk goa-goa yang nggak jelas manfaatnya, arung jeram seperti orang nggak ada kerjaan lain saja!...Mao jadi apa? Jagoan?"
Merah padam muka ayah menatap ku, sementara ucapannya terus ditujukan kepada ibuku, yang hanya bisa tertunduk, tanpa berani menatap tatapan ayah. Memainkan buku-buku jarinya disela isak tangis yang disembuyikan. Tapi tak bisa berbohong dengan air mata yang jatuh pada pipinya yang mulai keriput. Bukan ibu yang menjawab, tapi aku. Dengan sedikit keberanian yang masih tersisa diantara letihku mendaki, berargumen kepada lalaki berkaca mata yang usianya sudah di ambang senja. Lelaki yang semasa hidupnya menjalani kewajiban sebagai ayah dengan sangat baiknya. Lelaki yang selalu mencurahkan tenaganya untuk mencari rezeki, menghidupi aku dan ibuku. Tanpa kenal lelah, bekerja membanting tulang, dari seorang anak kampung terbelakang, hingga kini menjadi pegawai yang lumayan berperan di sebuah instansi di kota asalku, Bukittinggi. Dan selalu menganggap, bekerja dan pendidikan adalah nomor satu. Tanpa harus menghambur-hamburkan uang dengan jalan-jalan, atau hoby yang sangat mahal, seperti mendaki gunung dan lainnya.
" Yah, Ade nggak minta apapun dari ayah. Ade nggak pernah bikin ayah repot. Ade cuma ingin seperti teman-teman Ade , punya kebanggaan. Pengen menyalurkan hobby. Melihat dunia luar. Ade sudah kelas dua esema, yah! Ade udah gede!" jawabku sengit.
" Apa? Udah gede? Nggak minta apa-apa? Kamu nggak pantas ngomong gitu de, kamu nggak perlu nasehatin Ayah. Apa kamu pikir kamu sudah hebat, hanya karena kamu sekarang udah kelas dua? Hah? Kamu masih ingusan. Kamu nggak ngerti gimana susah nya ayah cari uang buat sekolah kamu, untuk kemudian kamu habiskan dengan berfoya-foya dengan teman kamu dengan cara naek gunung! Mulai sekarang, Ayah nggak ada lagi toleransi buat kamu. Nggak ada itu naek gunung, panjat-panjat dinding seperti orang kurang kerjaan. Kamu harus belajar, jadi orang-gedean, baru kamu bisa ngomong seenak perutmu!"
" Baik...Ade buktikan, bahwa dengan kegiatan yang sekarang, pelajaran dan cita-cita yang selama ini ayah kejar, akan de berikan. Tapi satu saratnya, biarkan Ade hidup dalam dunia sendiri..!"
Entah kekuatan darimana yang membawa ucapan-ucapan itu keluar lancar dari mulutku. Seoalah tidak ada satu katapun yang tersendat. Aku memandang ibu yang hanya bisa terdiam. Menatap anak yang amat disayanginya ini. Sungguh, aku bukan seorang yang manja, seorang yang bisanya hanya memanfaatkan kumudahan fasilitas dari orang tuanya. Pekerjaan ayah sebagai seorang pegawai di Bukittinggi, memang menjanjikan kehidupan yang lumayan berkecukupan buat anaknya. Entah, aku bukan dari golongan mereka. Hoby ku bertualang,naluriku mengatakan demikian. Ternyata masuk keluar hutan itu menyenangkan. Dan hutan-demi hutan, aku masuki. Gunung-demi gunung aku daki. Dengan fasilitas orang tuaku, tak ada yang menjadi sulit buatku. Apalagi teman-teman SMU pun ternyata orang-orang mandiri. Dari sanalah aku belajar banyak tentang kehidupan. Bagaimana memperlakukan orang dengan menggunakan perasaan. Dan bagaimana aku harus bersikap ketika kehidupan sedang berada di bawah. Banyak pelajaran yang bisa ku ambil dari hobyku yang satu ini.
Angkot yang aku tumpangi melaju kencang. Mengguncangkan tubuhku yang masih melakukan aklimatisasi. Roda-rodanya menggilas batu-kerikil yang mewarnai awal perjalanan itu. Meski sudah tidak sedingin ketika aku datang kemari dua bulan lalu, tapi tetap saja "kehangatan rumah" masih melekat erat ditubuhku.
"Hey Pals! What are you thinking, buddy! Enjoy the trip! Are you sick?"
Aku menoleh kearah suara itu. Namanya Ipop. Mahasiswa sastra inggris sebuah universitas ternama di provinsiku. Teman yang baru aku kenal, pada pendakianku sebelumnya. Ketika itu, bawaan ku yang segunung menggugah dia untuk bertanya darimana aku berasal. Obrolan kami berjalan akrab, ketika aku menyebutkan suatu tempat. Dan dengan mata hitam pekatnya yang berbinar dia berseru keras, " thanks God! I found you!" Kemudian dia menjabat erat tanganku sambil menepuk-nepuk pundakku, seolah tak percaya. Aku yang merasa aneh terhadap perlakuannya, hanya bisa bengong tak berkedip dan buru-buru mengingatkan kalau kita sedang terburu-buru mendirikan tenda,karena cuaca makin gelap. Ah...Ipop! sahabat-gunungku yang memilikim karakter& jiwa sebagai pecinta alam sejati.
"No. I'm good. I just think!" jawabku sekenanya.
"Yes. The woman that I love so much! My Mom." jawabku pelan
Dan Ipop tak berkata apa-apa lagi, kecuali menepukkan tangannya beberapa kali. Dia tersenyum. Dimatanya seolah berkata, sabarlah kawan, perjalanan ini pasti berakhir.


Malam baru saja datang. Udara dingin menyergap dari balik pintu yang dibuka oleh Ipop. Nampaknya dia yang paling bersemangat tentang perjalanan ini. Segelas kopi panas masih mengepulkan uap tipis keudara. Aku kembali teringat ibu. Pada saat-saat terakhir aku pergi meninggalkan rumahku. Segelas susu panas di hidangkan ibu di meja belajarku.
" De," suaranya memecah keheningan. Aku yang masih membereskan beberapa perlengkapan menoleh, tanpa menjawab. " Benar, kamu akan tinggalkan Ibu sendiri? Benar kamu akan tinggalkan rumah? Apa kamu sudah pikirkan masak-masak, nak?
Aku menoleh. Menatap ibu yang selama tujuhbelas tahun membesarkan ku dengan tulus kasih sayangnya. Ibu melangkah gontai dan duduk di sebelahku, membantu membereskan perlengkapan dan carrier yang akan kubawa, dan menyerahkannya padaku. Aku menerimanya tanpa bisa melihat wajahnya yang sudah mulai senja.
"Tapi bukan karena pertentangan dengan ayahmu, bukan? " lanjutnya.
Aku masih bisu.
" De. Jika karena ayah kamu pergi, berarti kamu kalah, nak! Kamu pengecut. Rasanya sia-sia selama ini ibu membelamu..."
"Bukan, bu!." kataku memotong ucapan ibu. " Aku pergi karena aku ingin. Ibu tahu, selama ini ayah hanya ingin aku jadi universitas yang bonafit, sekarang sudah! Kini saatnya aku memilih pada apa yang aku anggap benar. Aku sudah menuruti keinginan Ayah. Aku tinggal kan hobyku menjadi seorang pendaki, dan sekarang semua keinginan ayah sudah aku penuhi. Lalu apa salah jika Ade pergi, bu?"
" Nggak, De. Nggak salah. Tapi, sepertinya egomu masih seperti dulu. Kamu persis ayahmu. Nggak bisa dicegah. Sekarang apa daya ibu. Ibu larangpun, pasti kamu akan pergi. Kamu sudah besar De, kamu sudah bisa menentukan jalan hidup mu sendiri. Ibu nggak akan mencegah. Tapi pikirkanlah. Segala sesuatu yang kamu ambil akan kamu pertanggungjawabkan kelak!"
Dan, seolah kata-kata itu yang selalu jadi azimatku selama ini. Seolah ibu selalu menemaniku di setiap perjalanku. Hingga kini aku bisa berada di sini. Di pesangrahan. Pintu gerbang menuju atap-sumBar. Entah bagaimana pikiranku bisa sebegitu stack nya, juga masih aku ragukan. Tapi itulah hidup dan kenyataan.
Matahari bersinar cerah hari ini. Udara menjadi sedikit lebih hangat. Tapi tetap saja, rasanya badan ini menggigil setiap kali bertemu dengan air mandi. Untunglah pemilik pondok yang aku tinggali, mau dengan sukarela memasakkan air buat ku mandi! Keramahtamahan orang minang yang memang sudah dari dulu dikenal, ternyata memang bukan isapan jempol. Itulah mereka.
-to be continued-

Tidak ada komentar: