Februari 20, 2009

Mencumbu Badai Merbabu

aku sadari suatu saat nanti aku tidak akan seberuntung kisah-kisahku yang lalu..”

Merbabu adalah destinasi perjalanan kami ini. Dimulai dari stasiun Manggarai, dengan menumpang kereta Bengawan jurusan Solo Jebres yang dijadwal tertulis akan berangkat pukul 19.45. Awal perjalanan kami sudah melakukan “kenakalan”, kami menumpang kereta dengan tidak membeli tiket terlebih dahulu. Mendekati delapan malam kereta datang, dengan kondisi tidak begitu penuh dan masih banyak tempat duduk yang tersisa. Kami mengambil posisi masing-masing dengan menaruh carrier-carrier diatas rak. Namun kenyamanan itu harus berakhir ketika kereta memasuki stasiun Bekasi, para penumpang yang memiliki tiket resmi satu persatu mulai menggusur ke tempat kami duduk. Selepas stasiun Bekasi, kondektur menyisir tiket penumpang, ”karcisnya mas?”.”Solo, empat pak” jawab kami sambil menggulungkan uang 30.000 rupiah untuk empat orang. Dan selama beberapa menit kemudian merupakan pembicaraan yang alot antara kami dengan kondektur tentang uang yang harus kami bayarkan kepada dia. Namun setelah tampang “kere” kami berhasil meluluhkan hati sang kondektur, bapak setengah baya itupun pergi meninggalkan kami. Kereta api Bengawan adalah kereta api ekonomi dengan tujuan Tanah Abang - Solo Jebres. Tujuan kami adalah stasiun Lempuyangan, Yogyakarta. Dalam kondisi normal, seorang penumpang harus membayar satu tiket dengan harga 38.000 rupiah. Selama ini kami selalu mengandalkan kebaikan hati kondektur untuk memberikan “potongan harga” karcis kepada kami. Jadi memutuskan untuk membayar karcis diatas kereta api dengan memberikan uang langsung kepada kondektur atau nego terlebih dulu ke gerbong makan. Bisa dibilang, inilah angkutan antar kota termurah di Indonesia. Kami sampai stasiun Lempuyangan Yogyakarta pukul 7 pagi dan disambut titik gerimis dari langit.

Pada kesempatan pendakian yang dilakukan medio 12-16 februari kemarin, tim kami yang berjumlah 4 orang mahasiswa Bakrie School of Management memilih untuk memulai pendakian dari jalur utama Tekelan. Konon, nama Tekelan berasal dari nama seorang kakek, Mbah Tekel yang merupakan sesepuh di desa tersebut. Temperatur udara di desa Tekelan sekitar 19 derajat celcius. Penduduk desa umumnya bermata pencaharian sebagai petani bawang, tomat, cabai, wortel, dan juga tembakau. Untuk mencapai desa tekelan, dari Stasiun Lempuyangan Jogja kami menumpang bis yang menuju terminal Giwangan, untuk selanjutnya melanjutkan perjalanan menuju Magelang. Setelah mewati perjalanan selama 2 jam, dilanjutkan dengan menumpang bis menuju kopeng. Dari kopeng untuk mencapai desa Tekelan dengan berjalan kaki kita akan melewati hutan wisata Umbul Songo dengan jarak 1,8km yang dapat ditempuh selama 45 menit.

Setibanya di basecamp pendakian, kami diberitahu bahwa Gunung Merbabu DITUTUP ! Kontan semua anggota tim kecewa, setelah melewati perjalanan panjang dari Jakarta, sungguh sia-sia rasanya jika pendakian batal dilakukan. Namun, karena cuaca hujan dan juga sudah mulai petang, malam itu kami memutuskan untuk menginap dulu di pos pendakian tersebut. Malam harinya, kami ditemani oleh seorang Ranger (penjaga pos pendakian). Dalam obrolannya dia mengatakan bahwa penutupan telah dilakukan semenjak 1 Februari lalu oleh pihak Taman Nasional Gunung Merbabu (TNGM) mengingat cuaca yang tidak bersahabat pada bulan basah seperti sekarang ini. Kami menanyakan apakah masih ada kemungkinan bagi kami untuk muncak keesokan harinya, dan dia mengizinkan dengan satu persyaratan segala resiko dan kecelakaan harus ditanggung sendiri. Karena tekad kami sudah bulat untuk menggapai puncak Merbabu, kami memutuskan untuk tetap melanjutkan pendakian keesokan paginya.

Ada sebuah jiwa yang didapat dari perjalanan ini, yang timbul dari hubungan yang mesra antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesama serta manusia dengan semesta alam. Gunung Merbabu yang berketinggian 3142 mdpl termasuk gunung dengan jumlah jalur pendakian terbanyak di Indonesia. Secara administratif, pegunungan Merbabu terletak antara tiga kabupaten, yaitu Boyollali, Salatiga, dan Magelang. Posisi gunung yang tergolong kedalam jenis stratovolcano ini sangatlah unik karena merupakan deretan pegunungan yang mengarah ke Utara, bersama Gn.Merapi, Gn.Telomoyo, Gn.Gajahmungkur, Gn.Andong, dan Gn.Ungaran. Nama Merbabu berasal dari kata meru yang berarti gunung dan babu yang berarti wanita. Gunung Merbabu berpasangan dengan Gunung Merapi. Gunung ini termasuk dalam kategori sleeping mountain atau gunung yang sudah tidak aktif lagi meskipun mempunyai lima kawah, yaitu Candradimuka, Kumbang, Kendang, Rebab, dan Sambernyawa. Jalur yang biasa dipakai para pendaki untuk mengggapai puncak Merbabu hanya beberapa, seperti Tekelan, jalur Dakan, dan jalur selo (jalur selatan), lainnya merupakan jalur penduduk untuk mencari kayu atau menangkap burung.

Sabtu pagi setelah sarapan dan repacking, cuaca cukup cerah mengawali pendakian. Pos pertama yang akan kami jumpai ialah pos Pending dengan melewati perkebunan penduduk dengan medan yang cukup menanjak. Kami merasa sangat diuntungkan dengan cuaca cerah ini, karena menurut penuturan penduduk bahwa disana selama beberapa minggu belakangan selalu diguyur hujan dan sesekali angin kencang. Dari Tekelan menuju pos pending berjarak sekitar 1200m yang dapat ditempuh selama 1 jam perjalanan. Di pos Pending (1800 mdpl) terdapat persimpangan antara jalur utama (ke kiri) dan jalur alternative (ke kanan). Dari pos ini mulailah kita akan memasuki hutan, jalurnya terus menanjak mirip perpaduan antara Salak, Cikuray, dan Putri (TNGP). Menuju Pos 1 (Gumuk) dengan ketinggian 2260 mdpl selama 1,5 jam melewati Sungai Kaliwoso dan Pereng Putih di sisi kanan jalan. Karena banyaknya cabang jalur sebelum memasuki pereng putih, tim kami sempat disorientasi arah dan akhirnya tersesat selama lebih kurang tiga jam.

Kami menyadari bahwa kami berada bukan pada trek seharusnya setelah semakin lama jalan yang kami tempuh semakin terjal dengan semak berduri yang sangat lebat. Logikanya, tidak mungkin gunung yang cukup sering disambangi para pendaki ini mempunyai trek yang masih tertutup ranting dan semak sebanyak itu. Kami terus berusaha untuk kembali menemukan jalur pendakian normal, untungnya setelah menyebar tim kami menemukan kembali jalur tersebut, walau butuh waktu lebih kurang tiga jam, waktu yang lumayan lama untuk membuat adrenalin semakin terpacu. Beberapa saat setelah kembali ke jalur normal kami baru menjumpai Pereng Putih. Pereng Putih atau tebing putih yang merupakan sebuah tebing yang menjulang tinggi, terbentuk akibat adanya aktivitas gunung berapi. Pereng ini akan memantulkan suara bila kita berteriak dari punggungan sebelah.

Naik sedikit dari tebing ini, kami melewati Sungai Kethekan yang dapat dijadikan sebagai tempat untuk mencukupi persediaan air karena semakin keatas akan semakin sulit untuk menemukan sumber air. Dari sungai ini menuju pos 1 menghabiskan waktu 20 menit. Setelah istirahat sejenak kami langsung melanjutkan pendakian menuju pos 2 Lempong Sampan yang berjarak 785m dengan waktu tempuh 1 jam. Di pos inilah kami mengisi perut yang sudah mulai keroncongan. Setelah cukup kenyang dan memulihkan tenaga, tim kembali bergerak menuju Pos 3 Watu Gubug (2610 mdpl) yang ditempuh selama 1 jam. Pos ini ditandai dengan adanya rangka-rangka besi sisa bangunan. Didekatnya terdapat batu besar berceruk yang dapat dipakai sebagai shelter, cukup untuk berlindung empat orang. Itulah sebabnya tempat ini dikenal dengan watu Gubug dan merupakan tempat yang disakralkan.

Setelah minum beberapa tegukan, perjalan berlanjut menuju Pos 4 Gunung Watu Tulis selama 1 jam. Kami tiba di pos ini pukul tiga sore. Di pos ini terdapat menara relay milik TNI AD dan sebuah bangunan yang entah digunakan untuk apa dan dipagari kawat berduri disekelilignya. Ditempat inilah kami memutuskan untuk mendirikan camp. Benar saja, 5 menit berselang setelah tenda didirikan kabut tebal dan angin ribut menerpa. Cuaca disini memang dapat berubah seketika, sehingga kewaspadaan harus tetap dijaga. Menjelang tengah malam, kami memasak nasi dengan lauk sosis dan dibumbui dari bumbu mie instan,ditemani secangkir cappuccino hangat, bayangkan sendiri bagaimana “lezat”nya. Setelah melumat habis menu malam itu, satu persatu dari kami mulai masuk kedalam kantung tidur masing-masing.

Ada sedikit “godaan” dari empunya tanah tempat kami mendirikan camp, ditengah ributnya angin yang menerjang diluar tenda, kami mendengar seperti ada yang mengacak-acak isi carrier kami, padahal pada saat itu yang melakukan pendakian hanya tim kami saja karena Merbabu memang sedang ditutup. Ketakutan dan emosi mulai susah untuk dikendalikan, untung kegaduhan itu tidak begitu lama. Sejam berselang, seisi tenda baru tertidur. Keesokan shubuhnya kabut tebal masih menggantung, sehingga sedikit menyulitkan untuk mengamati keindahan terbitnya matahari pagi. Target kami hari ini adalah Puncak Syarif. Pagi datang tanpa suara, yang ada putih dan putih. Angin, kabut dan titik-titik air tak juga henti. Rasa khawatir kadang mampir kadang pergi. Mungkinkah kami melalui Jembatan Setan dalam cuaca angin kencang, kabut pekat dan hujan menderu berikut bawaan kami yang cukup berat. Setelah sarapan roti keju dan bubur instan, pendakian dilanjutkan. Kami berjalan pelan karena jalan yang diselimuti kabut tebal sehingga jarak pandang tidak lebih dari 2 meter.

Lagi-lagi jalur tak ada yang datar, malah semakin terjal dengan tanah lempung bercampur batuan kapur. Kabut semakin menebal meski hujan datang dan pergi. Sebelum mencapai pos 5 kami melewati helipad, sebuah tempat datar disebelah kawah Candradimuka. Disekitar kawah ini kami melewati jembatan setan, dimana disisi kiri kanan jalan terdapat kawah Lanang dan Kawah Wadon. Dengan melalui jembatan setan dan mendaki tanjakan terjal, tim kembali menemui tempat datar yang lebih dikenal dengan Geger Sapi. Medan berikutnya ialah punggungan bukit dan terdapat beberapa jalan yang akan menuju Puncak Syarif, Puncak Pasar Dieng, dan Puncak Kenteng Songo (puncak tertinggi).

Perjalanan dari Simpang menuju Puncak Syarif ditempuh selama 10 menit dengan jarak 130m. Mencapai puncak syarif spontan seluruh tim melakukan sujud syukur, air mata tak sengaja memayungi pelupuk. Dengan memakai slayer Bakrie School of Management kebanggaan kami melakukan do’a bersama di puncak ini, berterima kasih kepada sang alam merbabu karena telah diberi restu untuk menapaki puncaknya. Kami tidak mau mengambil resiko untuk melanjutkan pendakian menuju Kenteng Songo, selain jalur yang tidak begitu jelas dan tidak kami kenal, kabut juga mulai tidak bersahabat. Dan rencana untuk turun melalui jalur selo otomatis gagal, dan memilih cara aman untuk kembali turun melewati jalur tekelan. Kami menyadari sepenuhnya kegiatan alam bebas sangat bergantung dari kondisi alam yang serba tak pasti, mungkin saja ada beberapa hal yang berubah dari rencana awal. Tim kami sangat menghindari pengambilan tindakan dimana nafsu telah mengalahkan akal sehat, keselamatan tetap menjadi faktor utama. Alam tidak bisa dilawan, hanya bisa dikenal, disayang, dan disiasati.

Masih ada sisa hutang buat Merbabu untuk kami datang lagi dikala rindu gunung datang menggaruk-garuk hati. Perjalanan turun tidak seberat mendaki, meskipun kaki harus menahan beban dipunggung yang masih cukup berat. Kami turun selama 4 jam, setelah melapor di pos pendakian kami langsung lanjut menuju Kopeng karena takut ketinggalan Bis yang hanya beroperasi hingga pukul lima sore.

Sore itu, setelah makan sepuasnya di sebuah restoran padang, tim kembali menuju Magelang, untuk melanjutkan lagi naik bis ke Klaten, rumah 2 anggota tim. Kami sampai di Klaten pukul 10 malam dan aku menginap di rumah Toyib. Sempat dihidangkan segelas jahe hangat dan roti, dan tidur untuk mengistirahatkan nyeri yang melanda seluruh badan.

Senin pagi, Sugeng datang mengantarkan motor yang akan aku kendarai menuju Jakarta. Setelah motor diservis, tepat jam 11 siang perjalanan Klaten-Jakarta dimulai. Aku ditemani Amran di bangku belakang yang masih setia dengan bawaaan carriernya menyusuri jalanan Jawa tengah dari Boyolali, Kendal, Semarang, Pekalongan, Tegal, Indramayu, Cirebon, Cikarang dan kembali di Jakarta. Total perjalanan adalah 13 jam dengan trek yang cukup datar, beberapa daerah dengan jalanan berlobang dan bergelombang licin. Memasuki daerah Pantura, motor kami harus bersaing dengan truk gandeng dan petikemas yang mendominasi jalanan. Sepanjang perjalanan dijumpai banyak lobang yang menganga ditengah jalan, jadi kami harus ekstra hati-hati kalau tidak mau motor dan tubuh ringkih digilas besarnya ban truk yang banyak melintas. Walau kantuk dan capek begitu kuat menyerang, namun kami tetap harus sampai di Jakarta malam itu juga, karena keesokan harinya harus masuk kuliah lagi. Akhirnya motor Supra 2003 yang aku kendarai tersebut sampai di Jakarta pukul 3 pagi. Sesampai dikontrakan, aku langsung merebahkan diri dan tertidur pulas untuk mengumpulkan stamina memulai perkuliahan esok hari.

Bila akhirnya semak belukar menutup jalan setapak dan menghentikan jalan kita untuk kembali pulang, Dan bila akhirnya nafas kita berhenti juga disini terkubur bersama ranting dan daun kering yang dingin, apakah itu semua akan tinggal kenangan sia-sia?
Semoga saja tidak ! Tidak bila mayat-mayat kita kelak mampu menitip pesan bahwa gunung bukanlah tempat bermain-main yang didaki tidak dengan persiapan, yang didaki hanya dengan modal semangat, hendak menaklukkan alam...(Milis Pendaki)


*terimakasih kepada sang pemilik alam yang telah mengizinkan kami menggapai Puncak syarif Merbabu dan selamat hingga kembali ke Jakarta, kepada orang tua yang berlapang dada melihat kelakuan masa muda kami (buat Ibu, yakinlah ini bukan suatu kesia-siaan Ibuku sayang), bapak Budi Setyawan dan Prabowo yang setia membimbing dan memantau perjalanan kami, orangtua Toyib atas tumpangan dan makan malam serta sarapannya,dan terhadap semua pihak yang rela merepotkan diri demi kelanjutan perjalanan ini.

Pendakian dan Kekuataan Empati

Mendaki gunung ialah suatu kegiatan favorit yang aku lakukan untuk sejenak melepas kepenatan pikiran dan kehidupan yang berjalan serba konstan. Seorang bijak pernah berujar, “ banyak-banyaklah berjalan, niscaya engkau akan lebih bijak dalam berpikir dan bertindak”. Dengan kata lain , makin sering seseorang melakukan perjalanan maka makin banyak pengetahuan hidup yang ia dapat. Makin banyak yang ia tahu, makin banyak pulalah nilai-nilai kehidupan yang ia serap. Hingga hasil akhirnya menuju titik bijak seorang manusia. Setiap informasi yang ia miliki, pengetahuan-pengetahuan yang ia dapati dan nilai-nilai yang ia yakini, semua tertampung dalam sanubari, untuk selanjutnya menjadi penuntun setiap langkahnya dalam menelusuri perjalanan-perjalanan yang lain. Tak hanya di gunung, tak hanya di gua-gua, tak hanya di tebing atau sungai, tapi di samudera kehidupan. Dalam kehidupannya sebagai makhluk social.

Banyak yang hingga detik ini masih mempertanyakan motivasiku dalam melakukan kegiatan ini. Sebenarnya pertanyaan seperti ini cukup klise untuk diajukan kepada seorang yang sedang mencoba mengabdikan dirinya untuk bersahabat dengan sang alam, seperti apa sedang kualami ini. Soe Hok Gie dalam sebuah catatannya pernah menuliskan kami adalah manusia yang tidak percaya pada slogan dan hipokrisi. Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari slogan dan hipokrisi. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat, kalau ia mengenal akan objeknya. Dan mencintai Tanah Air dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Karena itulah kami naik gunung. Setiap kali hendak berkegiatan dialam, jiwaku sering merasa tertantang, aku akan melakukan kegiatan yang suatu ketika yang tak terduga dapat mengantarkan pada sang ajal , aku akan pergi jauh meninggalkan rumah, hendak meninggalkan zona kenyamanan yang telah menjadi keseharian selama menjalani kehidupan perkotaan.

Jika mau sedikit menyimak lebih dalam sebenarnya banyak hal yang dapat dijadikan sebuah pelajaran. Naik kereta kelas ekonomi berdesak-desakan, tidak jarang harus berdiri bahkan tidur dilantai yang terdapat berbagai kotoran, lalu pindah dari satu bus ke bus yang lain, serta duduk bersama diatas pick-up bersama ibu-ibu yang kembali dari berbelanja sayuran di pasar tradisional. Sesampai di desa, aku berjumpa dengan masyarakatnya yang begitu ramah menyambut, para petani, pengangkut kayu, atau para penambang yang selalu memberikan senyum polos yang ikhlasnya.

Ingin kutekankan bahwa ada hal yang mungkin lebih berharga daripada pendakian itu sendiri. Ini tentang sisi-sisi kehidupan masyarakat yang kerap dijumpai didesa pada saat melakukan pendakian, yang mungkin sangat menarik untuk dipelajari masyarakat di perkotaan. Sebuah pola hidup penuh kesederhanaan yang memang kini hanya melayang menghampiri awan di atas gedung-gedung tinggi yang menusuk langit.Dari pengalaman seperti inilah refleksi mengenai keberpihakan kepada mereka yang termarjinalkan akan kuawali. Mereka yang digolongkan kedalam kelompok ini ialah mereka yang selama ini tidak pernah terjamah dan diperhatikan, menjadi minoritas atau menjadi korban dari penindasan suatu sistem, yang bahkan harus mati-matian berjuang untuk mendapat butir demi butiran nasi.

Semangat keberpihakan dan solidaritas ini dibentuk melalui persentuhan dengan mereka yang “sakit”. Perjumpaan dengan mereka yang ditindas, interaksi dengan mereka yang tidak bersuara (voice of voiceless), interaksi yang kerap kualami ketika pergi meninggalkan tempat tinggal untuk berjumpa dengan gunung, sungai, bukit, hutan, dan desa-desa. Perjumpaan dengan mereka memungkinkan diri ini untuk berempati, merasakan apa yang mereka rasakan, sehingga dengan demikian akan tergugah untuk bertindak. Mencoba membangun prefential for the poor berarti pula membangun semangat “mencemplungkan” diri kedalam dunia. Turun dari dunia kita dan mulai masuk kedalam dunia mereka. Merendahkan diri agar bisa berjumpa dengan mereka dan lalu mengangkat mereka agar setara dengan kita.

Aku begitu bersyukur ketika dalam waktu dekat ini organisasi yang aku banggakan dikampusku menggagas sebuah kegiatan aksi social dalam memperingati HUT Bakrie, dimana institusi kami bernaung. Sahabatku Alfian bahkan dengan sengaja membekali logisticnya dengan beberapa bungkus kretek 76 dalam pendakian Merbabu belum lama ini, demi memperingati dan mengungkapkan kebanggannya atas HUT yang sekarang telah memasuki usia 67 ini. Aku terkesima melihat semangat rekan-rekan yang bertugas mengkoordinir semua rangkaian acara yang berpusat dikampus BSM. Sudah lama memang aku merindukan dan mengimpikan suatu aksi nyata dalam lingkup pengabdian diri kedalam masyarakat seperti ini. Dalam kediamanku, aku hanya mampu berharap dan mendoakan semoga semua ini tidak hanya sebuah rangkaian seremonial belaka, yang dilakukan hanya sebagai suatu tuntutan tetapi lebih kepada tanggung jawab sebagai mahasiswa dan manusia secara keseluruhan sebagai makluk social. Disini aku tidak akan menggurui siapapun, karena terkadang diri inipun masih begitu arogan untuk sekedar memberikan recehan pada seorang anak kecil yang kurus dan kumuh yang kerap dijumpai di perempatan. Kapasitasku hanyalah sebatas mengajak, bahwa diluar sana masih berserakan saudara-saudara kita yang hanya makan nasi aking sekali dalam sehari, yang tidur kedinginan berdinding kardus bekas dan beratapkan langit, yang berjuang dengan airmata dan darah demi melawan kusta yang sudah menahun hinggap dan tidak sanggup diobati karena tidak mempunyai biaya untuk itu. Sesekali mari kita merenung dan melakukan aksi nyata bagi mereka, meninggalkan kehidupan apatis dan individualis yang begitu ganas menyerang untuk sejenak berempati.

Januari 23, 2009

Menyapa Kabut Lawu (sebuah catatan perjalanan)

Segala puji syukur bagi-mu Tuhanku,
Untuk saudaraku sang bayu
Untuk udara yang berawan maupun jernih
Dan segala macam cuaca yang kau ciptakan
Yang kau jadikan sarana menghidupi mahluk-mahlukmu

Tulisan ini merupakan sedikit dari cerita perjalanan selama 5 hari (7 – 12 Januari 2009) bersama teman-teman dari Bakrie School of Management (BSM) yang terdiri atas 5 orang tim , serta 1 orang dari President University (PU). Awalnya tim yang akan berangkat dari PU berjumlah 4 orang, namun karena satu dan lain hal 3 orang cewek pendakinya memutuskan untuk batal mengikuti pendakian kali ini. Dengan menaiki kereta bisnis Senja Utama dari Stasiun Senen pada pukul 20.20 WIB, kami menuju St. Balapan, Solo, Jawa Tengah. Dan tiba disana sekitar pukul 8 pagi, awal perjalanan yang cukup panjang.

Tiba di Stasiun Balapan segala lelah dan lapar tertumpah disebuah warung makan. Kami makan di sebauh warung nasi liwet, yang konon merupakan makanan khas kota tersebut. Hal ini penting sekali mengingat perjalanan yang akan ditempuh masih cukup jauh. Selesai itu, rombongan yang berjumlah enam orang ini termasuk aku, Ridwan, Baginda, Fahri, Redha, dan Macin menumpang bis menuju Terminal Tawangmangu, Karang Anyar, untuk ganti kendaraan menuju Pos awal pendakian Cemoro Sewu. Perjalanan dari Solo ke Tawangmangu ditempuh selama lebih kurang dua jam. Udara perlahan-lahan dirasakan begitu segar dan sejuk seiring dengan perjalanan bis yang mendaki perbukitan. Dan tanpa disadari hal itu membuatku sempat terlelap separuh jalan.

Tawangmangu adalah sebuah kota kecil dikaki Gunung Lawu. Banyak terdapat objek wisata didaerah ini seperti air terjun Grojogan Sewu, Telaga Sarangan dengan keindahan danaunya yang begitu memesona, Candi Ceto dan Candi Sukuh yang merupakan Candi warisan Prabu Brawijaya V, raja Majapahit terakhir (15 M). Pasar Sayur Tawangmangu namanya, di tempat ini kami menyempatkan berbelanja logistik dan keperluan lain untuk pendakian. Harga barang barang yang dijual disinipun relative murah. Dari depan Pasar ini pula tersedia Colt jurusan Sarangan yang akan mengantar kita langsung menuju kawasan Taman Nasional Gunung Lawu (TNGL) dan memakan waktu sekitar 1 jam perjalanan. Lokasi pintu masuk TNGL terletak diketinggian 1.800 meter diatas permukaan laut (m.dpl).

Para wisatawan maupun pendaki yang akan mengunjungi Gunung Lawu wajib melapor ke kantor dinas PERHUTANI setempat. Memilih untuk mendapatkan jalur pendakian yang lebih cepat namun nge-track, berpanorama indah dan tertata rapih hingga ketinggain 2.100 m.dpl, kami putuskan untuk melewati pintu Cemoro Sewu. Gunung Lawu memiliki 3 puncak tinggi yaitu Hargo Dalem 3.148 m.dpl, Hargo Dumiling 3.180 m.dpl dan Hargo Dumilah. Yang terakhir tersebut tadi menjadi puncak tertinggi Gunung Lawu yang memiliki ketinggian 3.268 m.dpl. Ketiga tempat tersebut masing-masing memiliki catatan sejarah yang terkait dengan sisa-sisa kebesaran kerajaan Majapahit di nusantara. Jalur pendakian Cemoro Sewu menawarkan banyak panorama yang memukau pemandangan.

Pendaki akan disuguhkan ekosistem flora dan fauna yang beragam seperti ribuan jejeran pohon Pinus dan Cemara, Akasia, Angrek, Edelweiss, Cantigi, Rustania, Puspa, Beringin, beragam jenis burung seperti Burung Anis, Burung Perjak, Burung Kerak, Burung Elang dan suara-suara primata Owa Jawa dikejauhan. Kesemua kehidupan alam liar tersebut dapat dengan mudah kita temukan mulai dari jalur pendakian antara shelter 3 hingga puncak Hargo Dumilah. Untuk menjejak puncak Hargo Dumilah melalui jalur ini memakan waktu sekitar 7 jam pendakian. Para pendaki akan menjumpai 5 shelter peristirahatan yang masing-masing berada pada ketinggian 2.100 m, 2.300 m, 2.500 m dan 2.900 m dan shelter terakhir pada ketinggian 3.100 m.dpl. Hingga sekarang ekosistem tumbuhan dan binatang yang hidup di kawasan Gunung Lawu masih terjaga dengan baik karena masyarakat yang tinggal di kaki gunung merasa takut jika hutannya dirusak maka penguasa Lawu yang tak lain adalah Sang Prabu Majapahit Brawijaya V, akan murka. Di Gunung Lawu, terdapat 2 jalur yang cukup popular di kalangan para pendaki, Cemoro Kandang dan Cemoro Sewu. Perbedaannya yaitu di Cemoro Sewu treknya lebih jelas, lebih pendek, dan lebih aman, walaupun sedikit terjal dengan tebing bebatuan di sisi kanan-kirinya. Sedangkan jalur di Cemoro Kandang relatif lebih landai namun dengan jarak tempuh hampir dua kali lebih jauh dibanding melewati Cemoro Sewu.

Walaupun kedua pos ini hanya terpisah 500 meter satu sama lainnya, tetapi sebenarnya keduanya terletak di dua provinsi berbeda. Cemoro Kandang terletak di Kab.Karanganyar, Jawa Tengah sedangkan Cemoro Sewu termasuk dalam territorial Kab. Magetan, Jawa Timur. Gunung ini secara geografis terletak pada 7.625’ LS dan 111.192’ BT, serta termasuk dalam jenis stratovolcano yang telah lama tidak aktif dan terbentuk pada masa Holocene. Tidak tercatat adanya letusan vulkanik sejak Abad 19, namun pernah terjadi gempa di tahun 1978 dan 1979.

Terdapat banyak kawah kecil di Gunung ini, pada ketinggian 2500 mdpl, dan tersebar pada kedua jalur. Sebelum memulai pendakian, di pos Cemoro Sewu, kami memutuskan untuk beristirahat memulihkan tenaga yang cukup terkuras setelah perjalanan jauh dari Jakarta, dan akan memulai pendakian sekitar jam 8 malam. Hujan gerimis mewarnai awal pendakian dari Cemoro Sewu ini. Medannya relatif landai dengan melewati hutan pinus dan akasia, menjelang Pos I terdapat ladang penduduk. Sebelum Pos I kita akan melewati persimpangan, yang ke kanan menuju Sendang Panguripan, sementara yang lurus menuju Pos I. Di pos I ini terdapat sebuah pondok yang biasa digunakan untuk melepas lelah sejenak bagi para pendaki. Perjalanan menuju pos II / Watu Gedek (2300 mdpl) kami tempuh selama 1 jam. Di pos II ini terdapat pondok yang dikelilingi tebing, kami sampai di pos ini pada pukul 11 malam, dengan kondisi cuaca yang berkabut dan gerimis.

Melihat kondisi tim yang sudah mulai agak melemah dan dengan mempertimbangkan factor cuaca, kami memutuskan untuk nge-camp sementara di pos ini, dan akan melanjutkan perjalanan keesokan paginya. Karena kondisi tenda yang hanya bisa menampung 4 orang, kami pun harus bergantian untuk tidur, sementara 2 orang lainnya bertugas menjaga tenda diluar. Esok paginya, setelah sarapan bubur instan dan kopi hangat kami melanjutkan perjalanan pada pukul 8 pagi menuju Pos III Watu Gede (2500 mdpl) yang ditempuh selama 1 jam 30 menit. Dari pos III ke Pos IV Watu Kapur (2800 mdpl) ditempuh selama 1 jam, dengan medan yang lumayan curam melalui kawah kecil yang menyemburkan bau belerang. Kawah tersebut diapit 2 bukit yang dasarnya labil sehingga tekanan dari bawah tanah (magma) dapat menembus keluar. Namun, karena terletak di jurang, kawah ini sulit dikunjungi. Dari Pos IV menuju Pos V (3000 mdpl) dapat ditempuh selama 30 menit. Pos V Jalatunda hanya tinggal rangka kayu seperti Pos IV. Kemudian dilanjutkan menuju Sendang Drajad selama 15 menit.

Jalur pendakian yang landai hingga sejauh lebih kurang 500 m terlihat dengan jelas membentuk sebuah garisan panjang yang melipiri tebing dengan jurang-jurang dikanannya. Dari ketinggian ini, kota-kota dibawah kaki Gunung Lawu terlihat semakin mempesona. Menjelang mata air Sendang Drajat, dikiri diluar jalur pendakian terdapat sebuah savana kecil yang ditumbuhi bunga-bunga Edelweiss dan tetumbuhan hutan lainnya. Ditengah-tengah savana ini terdapat sebuah batu besar dengan gambar telapak kaki manusia diatasnya. Konon pemilik telapak kaki ini adalah Maha Patih Majapahit Gajah Mada yang terkenal dengan sumpah Palapanya untuk seantero nusantara. Dibebatuan tebing yang mengapit savana ini terdapat sebuah Goa yang disebut Sumur Jolotundo. Sumur ini gelap dan sangat curam, memiliki kedalaman lebih kurang 5 meter dengan lubang bergaris tengah sekitar 3 meter. Untuk turun ke dalam sumur harus menggunakan tali dan lampu senter.

Di dalam sumur terdapat pintu goa dengan garis tengah 90 cm. Konon sumur Jolotundho ini sering digunakan untuk bertapa dan guru-guru untuk memberi wejangan/ pelajaran kepada murid-muridnya. Sumur Jalatunda atau Gua Segolo-golo yang terdapat sebelum Pos V merupakan terowongan bawah tanah yang jika ditelusuri kedalamnya maka kita akan melihat air yang terus menerus menetes dari langit-langit gua. Air ini begitu jernih namun dingin sekali. Nama Segolo-golo berasal dari kata segolo yang berarti segalanya. Banyak orang yang mempercayai bahwa bila kuat bertapa di gua itu maka segala permintaannya akan dapat terpenuhi. Kami menginjakkan kaki di Sendang Drajad pada pukul 2 siang, agak terlambat dari yang direncanakan, disebabkan kondisi trek berbatu yang terjal dan bebatuan yang runcing-runcing yang sedikit menyulitkan pendakian dan harus ekstra hati-hati agar tidak terperosok ke jurang di sisi jalan.

Sendang Drajad merupakan mata air tertinggi disini, dan digunakan untuk memenuhi ketersediaan air baik pendaki maupun peziarah yang sering mengunjungi gunung ini. Air sumur ini tidak pernah habis atau mengering walaupun diambil terus menerus dimusim kemarau. Air Sendang Drajad ini dipercaya dapat memberikan mukjizat dan penyembuhan supranatural bagi orang-orang yang meminumnya. Nama Sendang Drajad berasal dari kata sendang yang berarti mata air dan kata drajad yang berarti pangkat. Jadi arti lengkapnya adalah mata air yang memberi berkat berupa kenaikan pangkat, oleh sebab itu air disini dipercaya sebagai air suci. Di Sendang Drajad ini kami tidak bisa melihat pemandagan apa-apa, karena kabut cukup tebal yang menghalangi pandangan pada waktu itu. Malam kedua kami memutuskan untuk menginap di warung yang ada disini. Keberadaan warung disini bisa dikatakan sebagai sebuah fenomena, karena berada pada ketinggian diatas 3000 mdpl, barangkali inilah warung tertinggi yang ada di Indonesia.

Di sendang drajad sendiri terdapat 2 warung, yang menyediakan makanan dan minuman hangat. Malam menjelang pagi udara dingin terasa sangat menusuk tulang, tak terbayangkan jika tak ada warung ini dan kami harus mendirikan tenda dengan konsekuensi harus jaga diluar tenda secara bergantian, betapa dinginnya. Pada malam ini kami bercerita banyak dengan penjaga warung, yang mengatakan bahwa ia telah berjualan disana selama puluhan tahun, dan harus berbelanja turun gunung untuk membeli kebutuhan warungnya satu kali dalam 2 minggu. Pada malam ini, juga ada rombongan Menteri dari Departemen Pertambangan Republik Indonesia yang datang kesini untuk melakukan ritual ziarah.

Dari cerita yang kami dapat, pada bulan Suro seperti ini memang terdapat banyak peziarah yang mengunjungi gunung ini, dengan berbagai tujuan. Bahkan seringpula diantara peziarah tersebut ialah para pemegang kekuasaan di Negara ini. Setelah beristirahat semalaman, keesokan shubuhnya kami meneruskan perjalanan menuju puncak dengan memakan waktu selama kurang dari setengah jam karena kami memotong jalan melalui punggungan bukit yang cukup curam. Hargo Dumilah adalah nama Puncak Lawu (3265 mdpl), tempat ini ditandai dengan adanya tugu setinggi 2 meter. Di dekat puncak terdapat pondok yang dibangun oleh para pertapa. Gunung Lawu yang dahulu bernama Wukir Mahendra dipercaya sebagai pusat kerajaan pertama di Pulau Jawa. Keraton Surakarta dan Yogyakarta sebagai penerus kerajaan Mataram mempunyai hubungan erat dengan gunung ini. OIeh karena itu mereka sering mengadakan upacara spiritual disini. Nama “Lawu” berasal dari nama Sunan Lawu, cucu Raja Brahwijaya V, raja majapahit terakhir yang melarikan diri bersama pasukannya dari serbuan Kerajaan Demak.

Hargo Dumilah, nama puncak Lawu diyakini sebagai tahta Raja Brahwijaya V. Disitulah rakyatnya bersujud menyembah raja mereka. Pemandangannya makin indah dengan gumpalan awan yang menghampar jauh dibawah jejakan kaki. Langitnya makin biru. Anginnya makin sejuk dan tetap kering. Mataharinya tetap terik namun hati semakin takjub mensyukuri diri dapat memandangi sekelumit karya dari Sang Pencipta alam semesta. Pemandangan dari Puncak Hargo Dumilah pada saat tertutup awan sangat indah. Jika melepaskan pandangan kearah timur maka kita dapat menyaksikan beberapa puncak gunung lainnya seperti pulau - pulau kecil yang dibatasi oleh lautan awan, seperti yang digambarkan dalam kahyangan.Bila udara bersih tanpa awan kita dapat melihat pantulan matahari dideburan dan riak ombak Laut Pantai Selatan. Sangat jelas terlihat kota Wonogiri juga kota-kota di Jawa Timur. Tampak juga waduk Gajah mungkur juga telaga Sarangan. Melepaskan pemandangan kearah barat, kita akan melihat pucuk puncak Gunung Merapi dan Gunung Merbabu.

Bandana Bakrie School of Management pun sukses untuk pertama kalinya kami kibarkan di puncak ini. Tidak ada kata lain selain rasa haru yang membuncah di dada, dengan semangat kebersamaan sang Lawu telah mengizinkan kami semua untuk mencumbu ujung dari ketinggiannya. Sujud syukur spontan kami lakukan atas kebahagiaan berhasilnya ekspedisi kali ini. Dengan saling berangkulan kami berfoto bersama di Hargo Dumilah ini sambil mengibarkan Bandana BSM yang kami bawa, dilanjutkan juga dengan pengibaran kedua bandana BSM-President University dengan berlatar tim yang berjumlah sebanyak enam orang. Setelah puas berfoto dan menikmati keindahan ciptaanNya, kami kembali ke Sendang Drajad, untuk mengambil perlengkapan yang tadi ditinggal di warung dan kemudian langsung menyusur jalan turun ke Cemoro Sewu. Sebelumnya kami memberikan sisa logistik yang kami punya kepada penjaga warung sebagai bentuk ungkapan terima kasih, sekalian pamit.

Jika pada perjalanan naik kami harus beberapa kali break untuk menormalkan pernafasan dan beradaptasi dengan semakin tipisnya udara pegunungan, pada jalan turun kami harus menahan beban agar tidak terperosok, tak ayal kaki kami harus jadi “korban”. Kami hanya butuh waktu setengah dari total waktu untuk naik pada saat turun ini. Walaupun selepas pos III kami harus tetap berjalan melawan derasnya hujan, semua tim akhirnya bisa selamat sampai di pos Cemoro Sewu. Sore itupun kami langsung menuju Tawangmangu, dan kemudian dengan menumpang Bis Langsung Jaya meneruskan perjalanan menuju Solo. Kereta Gaya Baru Malam yang sebenarnya berangkat dari Surabaya datang tepat pada waktu yang tertera di jadwal. Kondisi kereta sudah sangat dipenuhi penumpang, jadi kami tidak kebagian kursi. Kami sebenarnya baru membeli tiket di atas kereta, dengan tarif 100.000 untuk 6 orang. Sangat murah memang untuk ukuran perjalanan Solo-Jakarta. Perjalanan selama 12 jam, dan pada pukul 08.00 pada tanggal 12 Januari kami telah sampai kembali di Stasiun Pasar Senen, Jakarta.


Banyak pelajaran yang kami petik dari perjalanan selama 5 hari ini (7-12 Januari 2009), dari pelajaran mengenai menghargai alam, melihat lebih dekat keindahan dan keagungan ciptaanNya, hingga arti dari sebuah persahabatan dan kerjasama suatu kelompok. Prinsip yang kami pegang ialah bahwa tidak selamanya belajar harus di ruangan kelas, karena alam juga menawarkan khazanah ilmu yang tak terbatas bagi kita yang mau mempelajarinya.

Tiada alasan untuk tidak mengakui adanya Sang Pencipta. Kami nampaklah begitu alit dibandingkan kosmos yang diciptakan Tuhan. Benar, hanya pikiran, daya dan upaya yang bisa mengantarkan kita untuk mencapai pengertian kesemestaan. Tentunya, kami bahagia ketika jiwa ini terasa dekat dengan Sang Pencipta. Sebuah harapan dari kami adalah semoga pada pendakian selanjutnya bisa melibatkan kalangan lebih luas dalam lingkup kampus BSM, baik yang berasal dari mahasiswa sendiri ataupun dari dosen atau para staff. Kita semua menyepakati bahwa sebuah perjalanan atau berkegiatan di alam terbuka mempunyai faktor resiko tersendiri. Dimana faktor resiko tersebut dapat ditimbulkan dari diri kita sendiri/ perilaku dan dari luar diri kita, seperti kondisi lingkungan. Faktor faktor resiko tersebut dapat diminimalisir atau dikurangi salah satunya dengan menerapkan prinsip prinsip manajemen perjalanan. Manajemen perjalanan mutlak diperlukan apalagi jika perjalanannya atau kegiatannya mempunyai media kegiatan di alam terbuka,.dengan melakukan manajemen perjalanan maka kita dapat merencanakan kegiatan kita dengan terperinci dan terorganisir.

Yang juga tak kalah pentingnya dan bisa dikatakan mutlak diperlukan dalan suatu perjalanan adalah kepemimpinan.Dalam setiap kegiatan dibutuhkan seseorang yang tanggung jawabnya adalah untuk memimpin kegiatan tersebut berjalan dengan baik dan sesuai dengan apa yang telah direncanakan. Kepemimpinan adalah cara seseorang mempengaruhi orang lain untuk bekerjasama mencapai satu tujuan tertentu. Pengalaman dialam terbuka menuntut tiga aspek dasar manusia : fisik, mental dan emosi. Keseimbangan dimiliki dalam bentuk: pikiran yang mengontrol ketegangan emosi dan gerak tubuh, saat berhasil mengatasi tantangan pada saat bersamaan muncul kepuasan emosi dan kegembiraan. Kegiatan petualangan dengan media alam sebagai tantangan menuntut kemampuan memahami potensi bahaya dialam dan keharusan menghormati potensi itu, ini merupakan titik awal yang mudah dirangsang untuk memiliki rasa hormat terhadap potensi keseluruhan alam. Dalam situasi petualangan, khususnya bila penampilan diri atau rasa percaya diri dituntut oleh situasi tersebut, maka beberapa sifat dan kualitas diri harus dipenuhi, seperti :disiplin diri, percaya diri dan kehormatan diri, determinasi atau kebutuhan bekerja sangat keras dalam menyelesaikan suatu permasalahan, vitalitas atau pendekatan yang sangat positif yang diperlukan secara esensial untuk mencapai sukses dari sebuah target, konsentrasi, dan pengambilan keputusan yang tepat dan cepat dalam situasi terburuk sekalipun. Kegiatan petualangan dengan memakai media alam sebagai tantangan yang juga dapat dirancang untuk dilakukan berkelompok, akan dapat merangsang beberapa potensi sifat atau kemampuan tertentu. Beberapa tantangan yang dihadapi secara teknis benar-benar menuntut untuk dihadapi bersama, sehingga akan menimbulkan rasa hormat kepada orang lain. Tuntutan kemampuan lain dalam kegiatan dialam terbuka adalah pandangan kedepan, inisiatif dan akal sehat, tidak egois, kehangatan.

Disini dapatlah kita lihat secara nyata bahwa ilmu yang kita peroleh di bangku perkuliahan sebenarnya dapat kita praktekkan langsung dengan melakukan kegiatan di alam terbuka (outdoor activities).Kedepannya semoga lebih banyak lagi masyarakat kampus yang mau terlibat langsung dengan kegiatan yang banyak memberikan efek positif ini, dengan hasil akhir yang diharapkan agar dapat lebih menghargai alam seisinya dan berujung pada suatu sikap tunduk, syukur dan penghambaan kepada sang maha pencipta, bahwa kita hanyalah setitik noktah dari segala ciptaanNya.

Bila aku tidak mencoba sesuatu
Aku tidak akan pernah mendapatkan pelajaran dari sesuatu
Dan inilah petualangan, penuh ketidakpastian
Aku melangkah kedalam ruang ketidaktahuan
Kusadari sepenuhnya adanya bahaya di sekitarku
Kuakui lebih merupakan bayangan daripada kenyataan
Dan sebuah kecintaan atas kelenggangan liar dari bukit-bukit di sekitarku

*Tulisan ini aku dedikasikan kepadaTuhan Yang Maha Esa atasTuhan Yang Maha Esa atasberkat, kasih, dan bimbinganNya. Ibundaku tercinta (my biggest LOVE) yang begitu luar biasa mendidikku dan memberiku begitu banyak banyak inspirasi kehidupan, Ayahku yang mengajarkan tentang kesederhanaan dan keberanian dalam menghadapi tantangan kehidupan.Terima kasih secara khusus kepada teman seperjalananku yang memberiku pencerahan tentang arti sebuah persahabatan dan kebersamaan, Laura Yulia Rahmah bunga hidupku, Bp.Budi Susanto atas pinjaman alat dan informasinya, Bp.Prabowo atas segala bimbingannya, Kang Bayu Tresna (TRUENORTH Bandung), Mas Aji Rachmat (SIOUX Indonesia), Mas Djarody (MAPALA Satu Bumi UGM dengan kisah perjalanan inspiratifnya ke Gunung Raung via Glenmore), Mas Mohammad Anshori, dan semua rekan di Milist Jejak Petualang atas semua kisah inspiratifnya dalam suatu diskusi denganku,Bapak penjaga warung di Sendang Drajad atas tumpangan tidurnya, bapak sopir pickup yang memberikan tumpangan gratis bagi kami hingga stasiun Purwosari, semua keluarga besar BSM – PU atas segala dukungannya, dan terhadap semua pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu yang secara langsung maupun tidak ikut membantu kelancaran pendakian kali ini.Mohon maaf apabila dalam tulisan ini masih terdapat banyak sekali kekurangan, maklum masih dalam tahap pembelajaran.Maju terus dunia petualangan Indonesia…